INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
CB Magazine »
Tarjih
»
MUHAMMADIYAH BULDOZER BUDAYA?
MUHAMMADIYAH BULDOZER BUDAYA?
Posted by CB Magazine on Selasa, 16 Desember 2014 |
Tarjih
ilustrasi budaya |
Dalam tanfidz putusan Musyawarah Nasional Tarjih
Muhammadiyah ke-46 tahun 2010, akan kita dapati bahwa sesungguhnya, Muhammadiyah
menyadari bahwa seni dan budaya itu ada dalam diri manusia dan merupakan fitrah
atau kodrat akibat dari karunia akal budi yang diberikan Tuhan.
Oleh karena itu,
Muhammadiyah mengklaim dirinya, selain sebagai gerakan dakwah Islam, juga
sebagai gerakan budaya. Akan tetapi, sebagai kontrol, Muhammadiyah menegaskan
bahwa agama adalah kepercayaan yang berfungsi sebagai sumber nilai dan panduan
dalam kehidupan berbudaya dan berkesenian. Pelibatan agama dalam aktivitas
budaya atau tradisi oleh Muhammadiyah membuat beberapa kalangan menilai, selama
ini Muhammadiyah membatasi ekspresi budaya dan tradisi masyarakat.
Aslan Abidin,
Budayawan Universitas Negeri Makassar (UNM), saat ditemui di Kampus UNM
Parangtambung, mengungkapkan bahwa kenyataannya, sejarah telah mencatat, sampai
sekarang, Muhammadiyah dikenal oleh
masyarakat sebagai pengklaim bahwa sebagian dari tradisi masyarakat menyimpang
dari kaidah agama. Bahkan, tidak jarang dari oknum Muhammadiyah melakukan aksi
represif untuk mencegah aktivitas tradisi masyarakat.
Dampak dari
purifikasi Islam adalah kekeringan budaya dan kesenian masyarakat. Menurut
Aslan, dahulu, di dalam penguburan orang Bugis, ada permainan yang bernama maqdalaceng. Masyarakat berkumpul di
situ. Di proses maqdalaceng itu
terjalin hubungan sosial. Akan tetapi, taradisi itu hilang karena Muhammadiyah
dan Islam secara umum melarang aktivitas terebut. Maqdalaceng
tidak pernah dicontohkan oleh nabi, tidak ada dalam ajaran Islam. “Padahal ada
nilai-nilai sosial, nilai-nilai seni yang berdampak besar pada kehidupan
masyarakat dalam tardisi Maqdaleceng itu!”,
tegas Aslan.
Aslan
berpendapat bahwa perlu pembedaan antara aktivitas seseorang sebagai ritual agama atau identitas ke-Islamannya dan aktivitas
seseorang sebagai identitasnya yang Bugis-Makassar. Ketika seseorang sedang
melaksanakan ke-Bugisannya atau
identitasnya sebagai orang yang Makassar, agama tidak usah mengurusi itu.
Begitu pun sebaliknya. Kalau pun tetap harus disatukan, tidak dipisahkan, agama
harus membiarkan orang Bugis atau Makassar itu tetap melaksanakan ritual
adat-budayanya. Dengan catatan, orang Bugis-Makassar tidak meniatkan aktivitas
budaya atau ritual tradisinya itu sebagai penyimpangan agama.
Menanggapi
Aslan, Ketua Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga PW Muhammadiyah Sulsel, Prof.
Dr. Musafir Pababbari, menjelaskan bahwa Islam sebagai agama yang akomodatif.
Islam tidak pernah mengikis habis ide-ide pra-Islam, budaya, dan tradisi yang
hidup. Hal ini juga berlangsung pada pada masyarakat Bugis-Makassar, seperti
ungkapan yang menyatakan bahwa “Ipatudangi ade’e, naripatettongngi syarea’e” yang
intinya adat itu bersendikan syariat.
Musafir menjelaskan
bahwa Islam mengatur seluruh lini hidup manusia. Islam tidak saja berhubungan
dengan masalah teologi saja, tetapi Islam sebagai rahmatan lilalamin juga mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk
aktivitas budaya. Jadi, islam tidak bisa dipisahkan dengan budayanya.
Pembantu Rektor
II UIN Alauddin ini menambahkan bahwa Islam mengajarkan konsistensi antara niat
dan perbuatan. Ritus etnik bisa saja dilakukan sebagai suatu hal yang bersifat
seremonial bukan ritus ibadah. Kalau ritus tradisi itu dijadikan sebagai ritus
ibadah, maka itu perbuatan musyrik dan bid’ah dhalalah.
Meski demikian.
Musafir juga menyadari bahwa Muhammadiyah ditengarai kurang apresiatif terhadap seni dan budaya yang hidup sebagai
tardisi yang melekat di masyarakat. Bahkan, Muhammadiyah dipandang telah
meminggirkan seni dan budaya dengan mengatasnamakan rasionalisasi dan
purifikasi ajaran agama.
Hal ini dapat dilihat
dari keringnya kehidupan seni dan budaya di dalam Muhammadiyah. Namun demikian,
sudah ada kesadaran baru akan apresiasi seni dan budaya dengan terbentuknya
Lembaga seni dan Budaya Muhammadiyah, yang walaupun sebenarnya lembaga semacam
ini pernah hidup pada era tahun 60-an. Muhammadiyah mesti menghidupkan kembali
konsep Dakwah Kultural yang merupakan Hasil Tanwir Muhammadiyah di Makassar
tahun 2007.
Tidak ada komentar: