Membincang Demokrasi dan Masa Depan Pemuda

Narasumber Seminar Nasional
Makassar-KHITTAH. Diagnosa Institute bekerjasama dengan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Program Studi PGSD FIP UNM, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga  menggelar Seminar dan Lokakarya Nasional bertajuk "Masa Depan Demokrasi dan Kepemimpinan Kaum Muda" di Hotel Boulevard, Sabtu (13/12) kemarin.

Kegiatan tersebut menghadirkan Duta Baca sekaligus anggota DPR RI 2004-2014, H.Nurul Qomar; Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulsel Syahruddin Alri; Perwakilan Kementerian Pemuda dan Olahraga Agussalim; Direktur Eksekutif Republik Institute Fajrurrahman Jurdi; serta Akademisi UIN Alauddin Mohd. Sabri AR.

Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif Diagnosa Institute, Andi Fajar Asti, mengatakan bahwa kegiatan ini adalah refleksi akhir tahun 2014 dalam menyoal kondisi politik dan kepemimpinan muda di Indonesia. Kaum muda sebagai pelanjut estafet kepemimpinan harus mampu mengambil peran aktif dan merebut tahta kepemimpin bangsa ini.

Pada kesempatan pertama, Qomar yang juga mantan pelawak ini banyak mengkritisi anggota dewan yang disebutnya sebagai wakil rakyat. "Kedudukan yang tertinggi adalah rakyat. Sebab para anggota dewan adalah wakil rakyat dalam dinamika demokrasi kekinian," jelasnya.

Menurut dia, wakil rakyat harus betul-betul bekerja atas representasi rakyat Indonesia karena mereka dipilih secara demokratis oleh rakyat. Hanya saja, pada kenyataannya mereka satu suara pada keputusan partai, bukan pada keputusan rakyat.

Tindakan tersebut dibenarkan oleh Fajrurrahman Jurdi. Mantan aktivis Ikatan Mahasisswa Muhammadiyah ini menyebut elit tersebut, tidak menjunjung tinggi demokasi melainkan oligarki kekuasaan.

"Mereka duduk bukan karena demokrasi, tetapi didudukkan atas kekuasaan dan uang. Sehingga membuat mereka harus tunduk terhadap oligarki penguasa yang memberinya kedudukan dan membiayainya," katanya.

Hal ini, lanjut Fajlur,  membuat mereka menjadi budak partai dan harus turut pada kuasa pemegang partai. Hal ini mengakibatkan keputusan mereka bertumpu pada oligarki penguasa partai, bukan demokrasi rakyat yang memilihnya.

"Oligarki itulah yang saya sebut sebagai predator kekuasaan. Ada predator di Istana, ada predator di Senayan, ada predator di penegakan hukum, dan ada predator di pengusaha naga," katanya.

Sementara itu, Mohd. Sabri AR, lebih banyak mengulas tentang masa depan demokrasi yang disebutnya terancam mati. Hal ini disebabkan oleh telah terjadinya pergeseran nilai,  yakni dari suara rakyat-suara Tuhan menjadi suara dentingan uang-suara Tuhan. "Sekarang telah berubah, dan uanglah yang menentukan masa depan bangsa. Sehingga, demokrasi terancam mati," tuturnya.

Dia juga mengulas mengenai karakteristik masyarakat pedalaman dan pesisir. Menurutnya, kedua karakteristik tersebut mempunyai karakter pemimpin yang sangat jauh berbeda. "Gaya kepemimpinan masyarakat pedalaman menciptakan feodalisme baru, "Tuan Takur baru, sementara itu, gaya pesisir menciptakan pemimpin yang individualis namun egaliter," katanya.

Sabri pun menyebut bahwa aksi jalan mahasiswa merupakan masa depan demokrasi. "Jika suara represensi jadi simulasi, maka aksi jalananlah yang menjadi sandaran demokrasi," tukasnya.

Sementara itu, dua pembicara lainnya lebih memberi motivasi pada generasi masa depan pemuda sebagai regenerasi kepemimpinan selanjutnya.”Kalau hari ini pemuda tidak mengoptimalkan intelektulitas, fokus pada branding self, serta dibarengi oleh religiusitas, maka hal yang ingin dicapai pastinya akan tidak maksimal," ungkap Syahar pada kegiatan yang dihadiri 300 peserta dari bebagai perguruan tinggi di Makassar ini.(Rp)

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top