Satu Abad ‘Aisyiyah Mencerahkan Bangsa

(Catatan Jelang Muktamar Satu Abad ‘Aisyiyah)

Oleh: Nurhayati Azis
Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sulsel


Pada tahun 1990, Amartya Sen (dalam Candraningrum, 2007:35) pernah menulis dalam New York Review of Books, sebuah artikel yang berjudul “More Than 100 Million Women are Missing” (Lebih dari 100 juta perempuan hilang). Menurut Sen, bencana tersebut adalah bencana terbesar di abad ke-20. Bencana itu lebih besar daripada jumlah korban kelaparan abad 20; jumlah kematian pada Perang Dunia I dan II; jumlah kematian yang disebabkan epidemi seperti influenza atau AIDS.

Sen menguraikan bahwa fenomena tersebut lebih mencolok terjadi di negara-negara pada belahan benua Asia dan Afrika. Pada kedua benua ini, angka harapan hidup perempuan lebih rendah dari laki-laki. Dalam temuannya, Sen mengungkap bahwa tingginya angka penyakit dan kematian pada perempuan disebabkan oleh kegagalan pemberian pertolongan medis, suplai untuk kesehatan reproduksi, pelayanan makanan dan sosial.

Dalam pandangan Sen, akar hilangnya kurang lebih 100 juta perempuan di abad ke-20, adalah karena masih kuatnya sistem patriarki yang mengakar pada tradisi sosial dan agama. Peminggiran perempuan secara budaya, implikasinya terlihat pada rendahnya komitmen negara terhadap kesehatan reproduksi kaum perempuan. Contoh di depan mata, Jurnal Perempuan Online, pernah memuat liputan yang bertajuk “Anggaran Klub Sepak Bola Persis 3 Milyar, Anggaran Ibu Hamil 154 Juta”. Anggaran untuk Sepakbola yang didominasi kaum lelaki, lebih menyerap perhatian negara, dibandingkan keselamatan Ibu hamil.


Lintasan Historis
Tragedi yang dicatat oleh Sen diatas terjadi pada abad ke-20. Pada abad yang sama, tepatnya tanggal 27 Rajab 1335 H/ 19 Mei 1917 lahir gerakan perempuan yang bernama ‘Aisyiyah. Gerakan ini bergerak dalam bidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan. Bermula dari perkumpulan gadis-gadis dalam pengajian rutin yang dikenal sebagai “Sapa Tresna” tahun 1914, kemudian berkembang sampai pada kalangan ibu-ibu rumah tangga. Mereka diajak untuk memikirkan persoalan kemasyarakatan khususnya masalah peningkatan harkat kaum perempuan (Junus Anis, 1968:12).

Nyai Walidah (dalam Kristyanto, 2010: 87) menggambarkan kegelisahannya atas kondisi pada zaman itu, yang meminggirkan kaum perempuan. Ia menyatakan, “pandangan Islam yang menjamin kedudukan sama antara perempuan dan laki-laki itu diabaikan. Dan ajaran Qur’an yang memberi bimbingan tentang bagaimana sebenarnya perempuan harus bertingkahlaku di rumah dan di masyarakat, disingkirkan dan menjadi kata-kata mati belaka.”

Seperti halnya Muhammadiyah, berdirinya 'Aisyiyah dilatarbelakangi oleh adanya keprihatinan mendalam akan kondisi bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan. Pada awal abad ke 20, paham budaya yang mensubordinasi derajat dan kedudukan kaum perempuan telah menjadi sumber kebodohan dan ketertinggalan. Pada masa itu, sekolah-sekolah hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki, itupun juga terbatas pada kalangan tertentu (priyayi).

Munir Mulkhan (2006) mengulas, Muhammadiyah dengan inisiatif pemberdayaan perempuan, melalui pendirian organisasi ‘Aisyiyah dilihat dari konteks zamannya jauh melampaui gerakan paling liberal sekalipun saat ini. Pendapat Mulkhan tersebut, cukup beralasan mengingat di awal kelahirannya, eksistensi ‘Aisyiyah mesti berhadapan dengan dominasi budaya patriarki yang disuburkan oleh kolonialisasi Belanda dan pendudukan Jepang. Kolonialisasi Belanda menyuburkan praktek selir dan pergundikan. Pada saat pendudukan Jepang, segala bentuk pendidikan bagi kaum perempuan, dalam bentuk sekolah dan madrasah, semua dibekukan. Akibatnya, pada masa itu ‘Aisyiyah hanya bisa mempertahankan pembinaan kaum perempuan dalam bentuk pengajian keagamaan biasa.

Kiprah ‘Aisyiyah
Setelah mencapai usia 100 Tahun, Aisyiyah saat ini telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2.332 Pimpinan Cabang Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6.924 Pimpinan Ranting Aisyiyah (setingkat Desa/Kelurahan).

Selain bergerak di bidang dakwah keagamaan (tabligh) melalui mimbar-mimbar pengajian, Aisyiyah juga memiliki amal usaha yang bergerak di berbagai bidang, yaitu: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Amal usaha Aisyiyah bidang pendidikan saat ini berjumlah 4.560, terdiri dari Kelompok Bermain, Taman Pengasuhan Anak, Taman Kanak-Kanak, SD, SMP/MTs, SMA/MA dan Perguruan Tinggi.

Dalam bidang kesehatan, ‘Aisyiyah berkiprah dalam penyediaan Non Government Health Service (NGHS), baik berupa Rumah Sakit Bersalin, Rumah sakit Ibu dan Anak, ataupun Balai Kesehatan Masyarakat. Selain itu terlibat dalam berbagai program kemitraan, baik dengan stakeholder dari dalam maupun luar negeri, seperti program kampanye peningkatan kesadaran masyarakat tentang Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penanggulangan penyakit Tuberculosis, sosialiasasi pentingnya kesehatan reproduksi, sosialisasi imunisasi melalui GAVI Concorsium, dan lain-lain.

Berbagai kiprah ‘Aisyiyah tersebut, dianggap cukup membantu Pemerintah dalam mewujudkan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Oleh karenanya, Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs menganugerahkan MDGs Award Tahun 2011 dalam kategori Lembaga Swadaya Masyarakat atas peran sertanya dalam pencapaian target MDGs di Indonesia.

Sekiranya ‘Aisyiyah tidak lahir di abad ke-20, mungkin jumlah “perempuan hilang” di abad ke-20 jauh melebihi angka 100 juta, sebagaimana paparan Amartya Sen di awal tulisan ini. Tentu saja, tantangan kaum perempuan di Abad 21 jauh lebih kompleks. ‘Aisyiyah tidak akan berpuas diri, kami terus berbenah dan tak kenal lelah mencerahkan bangsa.






Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top