INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
CB Magazine »
Hikmah
»
TAJDID
TAJDID
Posted by CB Magazine on Senin, 29 Desember 2014 |
Hikmah
Oleh: Hamzah Fanshury (Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Sulsel) |
Ahmad Dahlan duduk di atas kereta di stasiun tugu Yogyakarta, dengan gundah dan geram yang menyerimpungnya. Ia dipojokkan oleh sebuah situasi; kongkurensi. Ya, di kereta yang sedang siap melaju berangkat itu, Ahmad Dahlan ingin pergi dari situasi yang tak menerima apa yang ditawarkannya; pembaharuan.
Langgar, atau Mushalla, tempat ia menyampaikan agama islam yang segar, islam yang hadir bagai ‘denting biola’ yang merdu, dibakar jadi abu oleh massa. Dan massa yang diamuk amarah, massa yang tak tertarik oleh agama yang datang bagai ‘denting biola’ itu, menyampirkan cap pada Ahmad Dahlan; kafir.
Ahmad Dahlan diusir. Tapi ia memiliki sedikit keluarga yang memberi bela. Dan pula ada seorang perempuan, istri yang tegar; Walidah. Dan segelintir teman yang ingin menghayati makna agama yang datang bagai ‘denting biola’ itu. Dan Ahmad Dahlan terbujuk untuk tak berangkat pergi.
Karena itulah Ahmad Dahlan beranjak meninggalkan tempat duduknya di atas kereta api; ia tak jadi pergi bersama gundah yang menyerimpungnya itu. Yang melaju bersama Ahmad Dahlan akhirnya bukan kereta api itu, melainkan sesuatu yang kini menjadi doktrin fundamental dalam organisasi yang telah melampaui usia satu abad; tajdid.
Tajdid adalah penghayatan dan pergulatan sekaligus. Penghayatan atas agama sebagai kesadaran personal, penghayatan atas agama sebagai pencerapan paling dasariah dalam hidup. pergulatan dengan diri yang me-realitas, diri yang terhubung dengan tata fenomena yang dialami dengan kompleksitas yang tidak senantiasa terdiferensiasi dengan jelas. Dengan redaksi yang simplisistik, meminjam terma yang digunakan Alfred North Whitehead dalam “Filsafat Proses”-nya, tajdid dalam Muhammadiyah bisa dikatakan sebagai causal efficacy; pengalaman kausal-intuitif.
Dalam Muhammadiyah tajdid barangkali sebaiknya diperlakukan seperti gradasi cahaya ‘pencerahan’ yang menembus abad, melintasi lapis generasi. Atau barangkali seperti yang digambarkan Plato dalam theaetetus-nya; “Engkau tak dapat mencebur dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air segar senantiasa mengalir melintasimu.”
Dengan kata lain, tajdid dalam Muhammadiyah merupakan on going process. Dengan demikian tajdid bukan suatu ortodoksi, atau teks yang terperangkap dalam ruang waktu. Sehingga menjadi patut dan benar jika dalam Muhammadiyah hidup suatu kesadaran fundamental bahwa; hidup yang berputar dalam nukleus masa lalu adalah pertanda kematian peradaban.
Hidup dengan tajdid adalah hidup yang tak jatuh dalam isme ‘maa alfaina aabaa’anaa’; yang cukup dari warisan nenek moyang. Tetapi dengan keyakinan tajdid yang demikian itu, bukan berarti Muhammadiyah tidak memiliki kesadaran tentang relasi historis dengan ‘masa lalu’-nya, dengan elemen-elemen budaya dan atau wawasan-wawasan tradisi yang hidup dalam diri-nya (nya; Muhammadiyah). Elemen budaya dan wawasan tradisi ‘masa lalu’ itu diresepsi sebagai penghindaran dari jebakan eksklusivisme, atau meminjam eksplanasi Adonis dalam ‘Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam’: “elemen-elemen tersebut tidak memiliki nilai dari sisi bahwa elemen-elemen tersebut sudah berlalu, tetapi nilainya terletak pada kenyataan bahwa elemen-elemen tersebut menyimpan potensi untuk menerangi masa datang…sejauh mana kemampuannya untuk menjadi bagian dari masa datang.”
Ahmad Dahlan, dan agama yang datang bagai ‘denting biola’ adalah peristiwa yang meletakkan tanda (sign) untuk generasi Muhammadiyah kini dan yang akan tiba berikutnya bahwa keindahan lahir dari ‘percintaan’ senar dan nada, bunyi yang tersusun dari gesekan-gesekan sunyi; imaji. Dan di sana senantiasa hadir kebaruan yang menampik jenuh, menampik lusuh.
Demikianlah tajdid itu, di mana Muhammmadiyah “tak dapat mencebur dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air segar senantiasa mengalir melintasi-nya.” Dan itu membutuhkan tidak hanya kecerdasan yang cukup, tapi juga keberanian yang rendah hati. Mungkin. (*)
Tidak ada komentar: