Menanggapi Isu-Isu Kontroversial Ke-Islaman, Ini Jawaban Muhammadiyah



Isu kontroversial terkait ke-Islaman bagai kuku panjang. Nikmat menggaruk gatal, bahkan seringkali membuat mata terpejam karena keasyikan. Akan tetapi, menggaruk gatal dengan kuku panjang juga memang bahaya, jika kebablasan. Perih karena luka bukan tidak mungkin bisa jadi akibat susulan.

Sangat efektif dijadikan tolok bahan adu kritik. Begitulah isu kontroversial ini. Klasifikasi kalangan yang hadir sebagai lahiran atas tanggapan: kanan, kiri, kekanan-kananan, dan kekiri-kirian pun menjadi taksonomi yang memperjelas beda. Yang progresif mengkritik yang konseravatif, yang konservatif mencibir yang progresif. Lebih jauh, yang progresif menggaruk yang konservatif, dan yang konservatif menggali yang progresif. Perih!

Lagi, beberapa kalangan menilai Muhammadiyah seakan-akan alergi terhadap sikap demokratis-apresiatif atas mazhab ke-Islaman dan pemikiran keagamaan yang berbeda. Isu kontroversial, inilah “kepala besar” persoalan ini.

Prof. Dr. Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, adalah salah satu penghadir kritik. Saat ditemui di kediamannya, Qasim mengungkapkan bahwa belakangan ini, Muhammadiyah  sangat sensitif dalam konotasi negatif terhadap isu-isu keagamaan kontemporer. Wacana terkait Syiah, Ahmadiyah, Pluralisme, dan Liberalisme pemikiran ditanggapi sensi-sinis oleh Muhammadiyah.

Lantas, bagaimana tangapan Muhammadiyah atas kritikan ini? Bagaimana pula, sebenarnya wacana Syiah, Ahmadiyah, dan pluralisme agama itu? Berikut ini, Khittah mencoba mengelaborasi isu-isu kontroversial tesebut dengan memadukan pendapat dari berbagai narasumber.

Syiah dan Ahmadiyah

Prof. Dr. Arifuddin Ahmad, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel, mengungkapkan bahwa dalam memandang wacana Syiah ini, orang Muhammadiyah dapat diklasifikasikan responsnya seperti, berbeda pendapat, bertentangan, dan dinilai sesat.

Arifuddin menjelaskan, pada prinsipnya, Muhammadiyah hanya berbeda pendapat dengan Syiah Imamiyah. Muhammadiyah tidak pernah mengatakan bahwa kelompok ini sesat. Sementara itu, untuk kelompok Syiah Rafidah, Muhammadiyah memang sudah menyatakan bahwa kelompok ini sesat. Perbedaan saat ini salah satunya karena Syiah Imamiyah masih menerima hadis dari sahabat Rasul meski bukan ahlul bait. Sementara, Syiah Rafidah hanya menerima hadis dari ahlul bait saja.

Sementara itu, Ketua Majelis Tarjih PW Muhammadiyah Sulsel, Kiai Jayatun, MA menyatakan bahwa secara resmi, Muhammadiyah telah menolak konsep ke-Islaman kelompok Syiah. Jayatun menjelaskan bahwa Muhammadiyah hanya bisa menerima salah satunya adalah kelompok Syiah Ja’fariyah.

Terkait penyikapan terhadap kelompok Syiah, Prof. Qasim Mathar mengaku salut kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Qasim salut karena keterbukaannya dalam memandang dan menyikapi Syiah dengan menentang fatwa pengharaman kelompok ini yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur.

Perbedaan antara Sunni-Syiah hanya lah perbedaan terma dalam butir-butir rukun Islam dan konsep Imamah. “Syiah juga syahadat, salat, zakat, puasa, dan naik haji. Syiah itu, ya... Islam!”, tegas Qasim.

Terkait pandangan terhadap Ahmadiyah, Prof. Arifuddin Ahmad menjelaskan bahwa di kalangan Ahmadiyah sendiri juga terdapat perbedaan pendapat. Ada golongan Ahmadiyah yang hanya menganggap Gulam Ahmad sebagai mujtahid, ada juga yang beranggapan bahwa Gulam Ahmad adalah nabi. Terhadap kelompok yang menganggap Gulam Ahmad adalah nabi inilah yang ditolak oleh Muhammadiyah. “Alasannya jelas, Muhammad saw. adalah rasul dan nabi yang terakhir, tidak ada lagi setelahnya,” tegasnya. 

Terkait kenabian Gulam Ahmad oleh kelompok Ahmadiyah, Prof. Qasim Mathar menjelaskan bahwa konsep kenabian Gulam Ahmad yang dipahami oleh Islam Ahmadiyah tidak seperti konsep kenabian Rasulullah dan nabi-nabi sebelumnya. Menurut Guru Besar UIN Alauddin ini, kenabian yang dirujuk oleh Ahmadiyah sebenarnya hanyalah Gulam Ahmad sebagai seorang mujaddid. “Istilahnya saja yang nabi,” ungkapnya.

Pluralisme

Pluralisme sebagai keragaman dan memang sunnatullah menjadi perdebatan panjang ketika dihadapkan dengan agama lain. Tokoh-tokoh pluralisme berpendapat bahwa kebenaran itu adalah tunggal, hanya milik Tuhan. Kebenaran ini kemudian diberikan kepada nabi–nabi dengan umatnya masing-masing. Interpretasi yang berbedalah yang melahirkan agama–agama.

“Jadi, dalam konsep perenialisme, sinar itu hanya satu. Dia kemudian berwarna–warni sebagai efek dari pantulan cahaya yang berbeda-beda. Kalau sinar itu ditembuskan pada warna yang merah, maka yang muncul pasti merah. Kalau bening, maka dia bening. Kalau dia ditembakkan pada warna yang hijau, maka yang muncul warna hijau. Tapi intinya, sinar tetap satu,”  jelas Akademisi UIN Alauddin, Dr. Barsihan Noor.

Barsihan menambahkan bahwa perbedaan berbagai agama hanya perbedaan dalam ritualitas. Tetapi pada hakikatnya, ketika seseorang ditanya siapa yang disembah, dia akan berkata Tuhan yang Mahakuasa, Yang Maha Penyantun, Pemurah,  dan Pemaaf, dalam bahasa yang berbeda–beda. Islam menyebutnya Allah, Kristen menggunakan tiga oknum (trinitas) yaitu Tuhan Allah, Tuhan Bapa, dan Tuhan anak. Sementara, orang Budha menyebutnya Sang Ghautama.

Sementara itu, Wakil Ketua PWM, Prof. Arifuddin Ahmad menyatakan bahwa pluralisme yang menganggap semua agama sama ditentang oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah sangat menjunjung tinggi pluralitas sebagai realitas, akan tetapi tidak pada pluralisme agama yang menjadi paham seperti itu. Menurut Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini, dengan paham pluralisme agama bahwa agama itu sama akan berbahaya untuk masyarakat. Hal ini karena dapat membuat orang ragu dan akhirnya melakukan konversi agama. “Hal ini bertentangan  dengan misi Islam yang kalau sudah syahadat, mengakui Allah sebagai Tuhan, ya istikamah dalam Islam.”

Sekretaris Majelis Tarjih PW Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Dr. Abdillah Mustari, berpendapat bahwa sebenarnya, pluralisme yang ada sekarang, pluralisme yang dianggap sebagai ajaran, bukan hal baru dalam Islam. Jauh sebelumnya, Islam telah melaksanakan sikap plural itu.

Abdillah menambahkan bahwa sebenarnya banyak yang anti terhadap ajaran pluralisme, tetapi dalam keseharian, kita telah menjalankan sikap itu. “Tetapi ketika masuk kedalam persoalan yang sektarian, kita kadang terbakar, kita kadang merasa itu hal baru, kita kadang merasa terganggu,“ ungkapnya.

Sebagai organisasi Islam besar yang berpengaruh di negeri ini, sudah sewajarnyalah Muhammadiyah proaktif menyikapi isu-isu kontroversial, dengan tetap mengedepankan spirit Islam Berkemajuan yang berwajah wasathiyyah. (Fikar/Syahrul)

Redaksi khittah.com

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top