INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
HAJI ANDI SEWANG DAENG MUNTU (2)
Mengenal Ketua-Ketua Muhammadiyah Sulsel dari Masa ke Masa (2)
HAJI ANDI SEWANG DAENG MUNTU
Ulama, Sastrawan, dan Politisi
(Consoel Moehammadijah Celebes Selatan 1938—1957)
Oleh:
Dr. K.H. Mustari Bosra, M.A.
Wakil
Ketua PW Muhammadiyah Sulsel/
Sejarawan Universitas Negeri Makassar
Andi Sewang Daeng Muntu (ist) |
Di Labbakkang, Daeng
Muntu menyelesaikan pendidikan formalnya hingga volksschool. Lalu dia meneruskan pendidikan ke vervolgschool di Pangkajene. Setelah tamat, Daeng Muntu terpaksa merantau ke Sumatra Barat mengikuti orang tuanya yang dibuang
oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembuangan itu karena dituduh terlibat dalam
usaha pemberontakan menentang penjajahan Belanda.
Di Sumatera Barat, Ia
melanjutkan pendidikannya di Sumatra Thawalib hingga tamat tingkat tsanawiyah. Di Minangkabau, Daeng
Muntu terpengaruh oleh gerakan pembaruan Islam. Namun, tidak diketahui apakah
dia telah menjadi anggota Muhammadiyah sebelum pulang ke Labbakang ataukah dia
bergabung ke dalam Muhammadiyah setelah kembali dari Minangkabau.
Sekembalinya dari
Minangkabau pada awal tahun 1927, ide-ide pembaruannya, demikian pula
rencananya membuka sekolah dan keinginanannya mendirikan Muhammadiyah Groep
Labbakkang sudah sering disampaikan kepada teman-temannya. Dalam artikelnya
yang termuat dalam Almanak Muhammadiyah
1454, Hal. 170, Daeng Muntu menyatakan bahwa pada permulaan tahun 1927, dia
kerap bersoal-jawab dengan sahabatnya Machnud memperkatakan kemajuan gerakan
Islam di tanah Jawa dan Makassar. Lebih lanjut, dia menyatakan, “Akhirnya,
dalam pada masa itulah penulis mendapat
kemufakatan dengan saudara tersebut akan mendirikan sebuah sekolah igama,
lebih-lebih pula setelah kami mendapat teman dua tiga orang, termasuk almarhum S.
H. Hamid. Akan tetapi, kami mufakatilah
akan mendirikan perkumpulannya lebih dahulu. Kemudiannya, setelah kami
mengadakan vergadering berkali-kali, keraslah permintaan saudara Machmud
supaya perkumpulan yang didirikan itu, ialah Muhammadiyah.”
Pada tanggal 9 Oktober
1927, perjuangan Daeng Muntu untuk mendirikan perkumpulan menjadi kenyataan.
Dalam suatu algemeene vergadering, Muhammadiyah Groep Labbakkang
diresmikan, dengan susunan bestuur
sebagai berikut: Sewang Daeng Muntu sebagai Voorsitter,
Muhammad Daeng Nojeng sebagai Vice Voorsitter,
Machmud Daeng Mammase sebagai Secretaris,
Haji Masyhud sebagai Penningmeester, Baso
Daeng Bombong sebagai Commissaris, Sayid
Haji Hamid sebagai Commisaris, Abdurrahman
Daeng Sila sebagai Commissaris.
Berbekal pengalaman yang
sebagiannya diperoleh di Minangkabau, dalam waktu yang sangat singkat, Daeng
Muntu berhasil mengembangkan Muhammadiyah Labbakkang. Pada tahun 1928,
Muhammadiyah Labbakkang telah berhasil membuka sebuah sekolah. Sejak didirikannya,
hingga tahun 1934, Muhammadiyah Labbakkang telah berhasil mendatangkan empat
orang guru dari Jawa (Muntu, 1354: 173).
Di bawah kepemimpinan
Dang Muntu, Muhammadiyah Labbakkang berhasil pula mendorong dan memfasilitasi
terbentuknya groep-groep Muhammadiyah dalam wilayah onderafdeeling Pangkajene lainnya, seperti Groep Pangkajene,
Bonto-bonto, Groep Sigeri, dan Ujungloe. Melihat keberhasilan dan potensi yang
dimiliki Daeng Muntu, Haji Abdullah selaku Voorsitter
Muhammadiyah Cabang Makassar (hingga 1932), maupun selaku Consul Hoofd Bestuur Muhammadiyah Celebes Selatan (mulai tahuin
1931) berulang kali mengajaknya pindah ke Makassar, dengan harapan supaya Daeng
Muntu dapat mendampingi dirinya. Tetapi, karena alasan pengembangan Muhmmadiyah
Groep Labbakang khususnya dan Pangkajene Kepulauan pada umumnya, demikian pula
usaha tambak dan pertaniannya yang tidak bisa ditinggalkannya, Daeng Muntu
selalu menolak ajakan Haji Abdullah.
Harapan
Haji Abdullah pada akhirnya terpenuhi juga. Dalam Konferensi Muhammadiyah
Sulawesi Selatan yang ke-13 di Selayar, tanggal 1-4 Januari 1938, Daeng Muntu
terpilih menjadi Consul Hoofd Bestuur Muhammadiyah Celebes Selatan. Pada saat
itulah Daeng Muntu terpaksa pindah ke Makassar. Tetapi kali ini bukan lagi
mendampingi Haji Abdullah, malahan sebaliknya. K.H. Haji Abdullahlah sebagai commissarisnya. Haji Andi Sewang Daeng
Muntu sebagai Consoel.
Daeng
Muntu berperawakan besar,
berkulit sawo matang kehitam-hitaman. Dalam dirinya mengalir darah bangsawan
Makassar, perpaduan Gowa, Galesong, dan Labbakkang. Dia terkenal sebagai seorang orator, jago mimbar, dan singa
podium yang menguasai bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Bugis. Penguasaan
atas ketiga bahasa tersebut sama mantapnya, bahkan ia sedikit memahami bahasa Minang.
Dia
terkenal sangat rajin membaca dan menulis. Dengan
penguasaan Bahasa Indonesia yang mantap ditambah dengan bakat dan jiwa seni
yang memadai membuatnya mampu menuangkan
ide-idenya dalam bentuk tulisan. Dia termasuk salah seorang yang tulisannya
sering dimuat dalam majalah Suara
Muhammadiyah. Daeng Muntu pernah menulis buku profil dan sejarah
singkat perkembangan Muhammadiyah Celebes Selatan pada tahun 1941 dengan judul “Langkah dan
Oesaha Kita.” Dia, sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai
sastrawan. Dengan menggunakan nama samaran yang merupakan singkatan namanya,
HASDA, dia berhasil menulis dua buah novel, yaitu: “Dari Makassar ke Sawah Lunto” dan “Si Cincin Stempel.”
Pada zaman pendudukan Jepang, Ahmad Sewang Daeng Muntu diangkat
menjadi penasehat pemerintah Kai-Gun
(Angkatan Laut) Jepang di kota Makassar yang waktu itu disebut San-Yo.
Kecuali itu, dia juga diangkat menjadi anggota Syukai-Gin,
semacam Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah
Jepang menyerah kepada sekutu, dan bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Daeng Muntu turut
aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pada era berkuasanya
Republik Indonesia Serikat (RIS), dia adalah salah seorang diantara beberapa
orang anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT)
yang Pro-Republik dan berjuang agar Indonesia
mendapatkan pengakuan dan kemerdekaan penuh dari Belanda, serta
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika
Partai Masyumi dibentuk di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1950, Daeng Muntu
adalah salah seorang dari beberapa orang pengurus inti Dewan Pimpinan Wilayah
Sulawesi Selatan. Pada Pemilu 1955,
Masyumi mengantarnya duduk sebagai anggota Parlemen Republik Indonesia. Dia
menjadi anggota parlemen hingga lembaga tinggi Negara itu dibubarkan oleh
Soekarno pada tahun 1960.
Selain kegiatannya memimpin
Muhammadiyah dan menjalankan tugas sebagai anggota Parlemen Republik Indonesia, Daeng Muntu
juga menumpahkan perhatian di bidang
pendidikan. Bersama-sama dengan
pemuka-pemuka Islam lainnya,
dia mendirikan Universitas Muslim Indonesia
(UMI).
Daeng Muntu meninggal
dunia di Labakkang pada tanggal 10 Mei 1968, dalam usia 65 tahun. Dia meningglkan seorang isteri bernama Andi Hudaya Daeng Ngugi dan tiga orang anak, masing bernama: Andi Patiri Daeng Matu, Andi Basse Daeng Bannang, dan dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.S. Anaknya yang disebut terakhir pernah
pula mengikuti jejak bapaknya sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Kalimantan Timur dan pernah menjabat sebagai Walikota Bontang. (*)
Tidak ada komentar: