HAJI ANDI SEWANG DAENG MUNTU (2)

Mengenal Ketua-Ketua Muhammadiyah Sulsel dari Masa ke Masa (2)

HAJI ANDI SEWANG DAENG MUNTU
Ulama, Sastrawan, dan Politisi
(Consoel Moehammadijah Celebes Selatan 1938—1957)

Oleh: Dr. K.H. Mustari Bosra, M.A.
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel/
Sejarawan Universitas Negeri Makassar

Andi Sewang Daeng Muntu (ist)
Andi Sewang Daeng Muntu lahir di Kampung Baruwa, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, pada tahun 1903. Dalam usia sekitar 6 tahun, dia mengikuti orang tuanya pindah ke Labbakkang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan.
Di Labbakkang, Daeng Muntu menyelesaikan pendidikan formalnya hingga volksschool. Lalu dia meneruskan pendidikan ke vervolgschool di Pangkajene. Setelah tamat, Daeng Muntu terpaksa merantau ke Sumatra Barat mengikuti orang tuanya yang dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembuangan itu karena dituduh terlibat dalam usaha pemberontakan menentang penjajahan Belanda.
Di Sumatera Barat, Ia melanjutkan pendidikannya di Sumatra Thawalib hingga tamat tingkat tsanawiyah. Di Minangkabau, Daeng Muntu terpengaruh oleh gerakan pembaruan Islam. Namun, tidak diketahui apakah dia telah menjadi anggota Muhammadiyah sebelum pulang ke Labbakang ataukah dia bergabung ke dalam Muhammadiyah setelah kembali dari Minangkabau.
Sekembalinya dari Minangkabau pada awal tahun 1927, ide-ide pembaruannya, demikian pula rencananya membuka sekolah dan keinginanannya mendirikan Muhammadiyah Groep Labbakkang sudah sering disampaikan kepada teman-temannya. Dalam artikelnya yang termuat dalam Almanak Muhammadiyah 1454, Hal. 170, Daeng Muntu menyatakan bahwa pada permulaan tahun 1927, dia kerap bersoal-jawab dengan sahabatnya Machnud memperkatakan kemajuan gerakan Islam di tanah Jawa dan Makassar. Lebih lanjut, dia menyatakan, “Akhirnya, dalam pada masa itulah  penulis mendapat kemufakatan dengan saudara tersebut akan mendirikan sebuah sekolah igama, lebih-lebih pula setelah kami mendapat teman dua tiga orang, termasuk almarhum S. H. Hamid.  Akan tetapi, kami mufakatilah akan mendirikan perkumpulannya lebih dahulu. Kemudiannya, setelah kami mengadakan vergadering berkali-kali, keraslah permintaan saudara Machmud supaya perkumpulan yang didirikan itu, ialah Muhammadiyah.” 
Pada tanggal 9 Oktober 1927, perjuangan Daeng Muntu untuk mendirikan perkumpulan menjadi kenyataan. Dalam suatu algemeene vergadering, Muhammadiyah Groep Labbakkang diresmikan, dengan susunan bestuur sebagai berikut: Sewang Daeng Muntu sebagai Voorsitter, Muhammad Daeng Nojeng sebagai Vice Voorsitter, Machmud Daeng Mammase sebagai Secretaris, Haji Masyhud sebagai Penningmeester, Baso Daeng Bombong sebagai Commissaris, Sayid Haji Hamid sebagai Commisaris, Abdurrahman Daeng Sila sebagai Commissaris.
Berbekal pengalaman yang sebagiannya diperoleh di Minangkabau, dalam waktu yang sangat singkat, Daeng Muntu berhasil mengembangkan Muhammadiyah Labbakkang. Pada tahun 1928, Muhammadiyah Labbakkang telah berhasil membuka sebuah sekolah. Sejak didirikannya, hingga tahun 1934, Muhammadiyah Labbakkang telah berhasil mendatangkan empat orang guru dari Jawa (Muntu, 1354: 173).
Di bawah kepemimpinan Dang Muntu, Muhammadiyah Labbakkang berhasil pula mendorong dan memfasilitasi terbentuknya groep-groep Muhammadiyah dalam wilayah onderafdeeling Pangkajene lainnya, seperti Groep Pangkajene, Bonto-bonto, Groep Sigeri, dan Ujungloe. Melihat keberhasilan dan potensi yang dimiliki Daeng Muntu, Haji Abdullah selaku Voorsitter Muhammadiyah Cabang Makassar (hingga 1932), maupun selaku Consul Hoofd Bestuur Muhammadiyah Celebes Selatan (mulai tahuin 1931) berulang kali mengajaknya pindah ke Makassar, dengan harapan supaya Daeng Muntu dapat mendampingi dirinya. Tetapi, karena alasan pengembangan Muhmmadiyah Groep Labbakang khususnya dan Pangkajene Kepulauan pada umumnya, demikian pula usaha tambak dan pertaniannya yang tidak bisa ditinggalkannya, Daeng Muntu selalu menolak ajakan Haji Abdullah.
Harapan Haji Abdullah pada akhirnya terpenuhi juga. Dalam Konferensi Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang ke-13 di Selayar, tanggal 1-4 Januari 1938, Daeng Muntu terpilih menjadi Consul Hoofd Bestuur Muhammadiyah Celebes Selatan. Pada saat itulah Daeng Muntu terpaksa pindah ke Makassar. Tetapi kali ini bukan lagi mendampingi Haji Abdullah, malahan sebaliknya. K.H. Haji Abdullahlah sebagai commissarisnya. Haji Andi Sewang Daeng Muntu sebagai Consoel.
            Daeng Muntu berperawakan besar, berkulit sawo matang kehitam-hitaman. Dalam dirinya mengalir darah bangsawan Makassar, perpaduan Gowa, Galesong, dan Labbakkang. Dia terkenal sebagai seorang orator, jago mimbar, dan singa podium yang menguasai bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan bahasa Bugis. Penguasaan atas ketiga bahasa tersebut sama mantapnya,  bahkan ia sedikit memahami bahasa Minang.
Dia terkenal sangat rajin membaca dan menulis. Dengan penguasaan Bahasa Indonesia yang mantap ditambah dengan bakat dan jiwa seni yang memadai membuatnya  mampu menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Dia termasuk salah seorang yang tulisannya sering dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah. Daeng Muntu pernah menulis buku profil dan sejarah singkat perkembangan Muhammadiyah Celebes Selatan pada tahun 1941 dengan judul Langkah dan Oesaha Kita.” Dia, sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai sastrawan. Dengan menggunakan nama samaran yang merupakan singkatan namanya, HASDA, dia berhasil menulis dua buah novel, yaitu: “Dari Makassar ke Sawah Lunto” dan “Si Cincin Stempel.”
Pada zaman pendudukan Jepang, Ahmad Sewang Daeng Muntu diangkat menjadi penasehat pemerintah Kai-Gun (Angkatan Laut) Jepang di kota Makassar yang waktu itu disebut San-YoKecuali itu, dia juga diangkat menjadi anggota Syukai-Gin, semacam Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, dan bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Daeng Muntu turut aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pada era berkuasanya Republik Indonesia Serikat (RIS), dia adalah salah seorang diantara beberapa orang anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) yang Pro-Republik dan berjuang agar Indonesia mendapatkan pengakuan dan kemerdekaan penuh dari Belanda, serta kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.           
            Ketika Partai Masyumi dibentuk di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1950, Daeng Muntu adalah salah seorang dari beberapa orang pengurus inti Dewan Pimpinan Wilayah Sulawesi Selatan. Pada Pemilu 1955, Masyumi mengantarnya duduk sebagai anggota Parlemen Republik Indonesia. Dia menjadi anggota parlemen hingga lembaga tinggi Negara itu dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.
Selain kegiatannya memimpin Muhammadiyah dan menjalankan tugas sebagai anggota Parlemen Republik Indonesia, Daeng Muntu juga menumpahkan perhatian di bidang pendidikan. Bersama-sama dengan pemuka-pemuka Islam lainnya, dia mendirikan Universitas Muslim Indonesia (UMI).
            Daeng Muntu meninggal dunia di Labakkang pada tanggal 10 Mei 1968, dalam usia 65 tahun.  Dia meningglkan seorang isteri bernama Andi Hudaya Daeng Ngugi dan tiga orang anak, masing bernama: Andi Patiri Daeng Matu, Andi Basse Daeng Bannang, dan dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.S. Anaknya yang disebut terakhir pernah pula mengikuti jejak bapaknya sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur dan pernah menjabat sebagai Walikota Bontang. (*)

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top