Tantangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah

 
Oleh Moh. Mudzakkir, MA.
Dosen Sosiologi Pendidikan dan Peminat Higher Education Studies
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya


Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang bergerak di berbagai bidang kehidupan. Gerakan Islam yang didirikan oleh KHA Dahlan ini bukan hanya dikenal bergerak di ranah pembaruan keagamaan saja, tapi juga di bidang pelayanan sosial, kesehatan, ekonomi, penanggulangan bencana, dan yang paling utama adalah bidang pendidikan. Berdasarkan data yang terbaru, dalam dunia pendidikan Muhammadiyah memiliki TK/TPQ (4.623), SD/MI (2.604), SMP/MTs (1772), SMA/SMK/MA (1.143), SLB (71), serta Perguruan Tinggi Muhammadiyah berjumlah 172 (www.muhammadiyah.or.id). Data tersebut hanya menyebutkan amal usaha di bidang pendidikan, belum menyebutkan jumlah amal usaha di bidang kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi. Maka tidak heran bila James L. Peacock, antropolog Amerika Serikat, menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi reformis Islam yang memiliki gerakan amal terbesar di Asia Tenggara atau bahkan di seluruh dunia.
Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) secara keseluruhan berjumlah 172. Jumlah itu berasal dari 159 PTM yang berada di bawah naungan Muhammadiyah dan 13 Perguruan Tinggi dibawah Aisyiyah (Nashir, 2014). Lebih lanjut, PTM tersebut mempunyai berbagai macam bentuk institusi mulai dari Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Politeknik. Mereka  tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dari propinsi ujung timur (Papua) hingga barat (Nanggroe Aceh Darussalam) dengan berbagai jenis institusi, fakultas, dan program studi yang ditawarkan. Tentu ini jumlah yang sangat besar, bahkan melebihi Perguruan Tinggi Negeri yang ada.
Muhammadiyah melalui PTM membantu meringankan tanggung jawab negara Indonesia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. PTM mendidik dan mencerdaskan anak bangsa untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Membekali mereka bukan hanya dengan pengetahuan, keterampilan dan keahlian, tapi juga nilai-nilai ke-islaman dan kemuhammadiyah yang berkemajuan sesuai semangat zaman. Ribuan bahkan jutaan mahasiswa alumni PTM tersebar di berbagai macam pekerjaan, mulai dari PNS, pendidik, karyawan swasta, wiraswastawan, birokrat, hingga politisi. Mereka berkiprah di dunia kerja dan juga berpartisipasi dalan dunia kemasyarakatan, secara langsung maupun tidak langsung juga ikut menggerakkan kehidupan bangsa Indonesia dengan posisi, peran, dan fungsi yang beraneka ragam.
Melihat jumlah PTM yang demikian banyak tentu menjadi prestasi tersendiri bagi gerakan Muhammadiyah dibandingkan dengan gerakan Islam atau ormas lainnya di Indonesia. Dari segi kuantitatif hampir mustahil bagi ormas lain menyalip Muhammadiyah dalam membangun PTM dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Mengapa demikian? Tentu ada alasan yang melatarbelakanginya.
Menurut Tobroni (2013) ada empat pilar yang menjadikan PTM terus berkembang secara dinamis. Pertama, spirit al Islam dan kemuhammadiyah sebagai dasar untuk menjadikan PTM sebagai sarana untuk mencerahkan umat islam, bangsa Indonesia, dan umat manusia. Kedua, keberadaan PTM tidak bisa dilepaskan dari Persyarikatan Muhammadiyah sebagai pelopor pendirian. Muhammadiyah secara kultural maupun organisatoris sebagai basis sosial yang menjadi pijakan dan dukungan ketika pertama kali muncul, berkembang, dan maju seperti sekarang ini.  Nama “Muhammadiyah” dibelakang “Universitas” menjadi modal sosial dan modal simbolik yang sangat berharga. Sehingga wajar bila banyak masyarakat menaruh kepercayaan terhadap PTM karena identitas (simbolik) Muhammadiyah dan jaringan (Sosial) yang dimilikinya. Ketiga, Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) merupakan institusi yang membantu Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam mengoordinasikan dan meningkatkan kualitas pengelolaan PTM. Melalui majelis inilah perkambangan dan segala macam problematika PTM diseluruh Indonesia dipantu dan dipecahkan. Majelis Dikti juga bekerja untuk memfasilitasi pengembangan kapasitas good university governance PTM seluruh Indonesia. Terakhir  keempat, Pimpinan PTM-lah yang menjadi ujung tombak. Mereka yang setiap hari memimpin, menggerakan dan mengembangkan PTM. Kepemimpinan yang visioner, kreatif, inovatif, berani membuat terobosan dalam mengembangkan PTM sangat dibutuhkan di lingkungan PTM. Keterpaduan empat pilar ini menjadi dasar dalam pengembangan PTM.
Apa yang telah dicapai oleh Muhammadiyah dalam mengembangkan PTM-nya tentu perlu disyukuri oleh warga Muhammadiyah. Meskipun demikian jangan sampai membuat terlena dan merasa puas terhadap apa yang telah diraih selama ini. Secara kuantitas tentu sudah lebih dari cukup, tahap selanjutnya adalah meningkatkan dan menjaga kualitas PTM agar dapat terus berdaya saing, baik di level lokal, nasional, regional, bahkan hingga dunia Internasional. Untuk itu ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan baik itu Persyarikatan Muhammadiyah, Majelis Dikti, BPH, dan Pimpinan PTM. Yaitu antara lain;
Pertama, berdasarkan akreditas institusi secara keseluruhan yang dilakukan oleh Badan Akreditas Nasional (BAN), dari keseluruhan PTM se-Indonesia hanya Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mendapatkan nilai A. Artinya kualitas kedua PTM tersebut sudah setara dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang juga terakreditasi A, seperti UGM, UI, ITB, Unair, dan lainnya. Padahal tidak semua PTN mendapatkan akreditasi A secara institusi, tentu ini sebuah prestasi yang layak untuk diteladani dan diikuti oleh PTM lainnya yang belum memperoleh akreditasi A. Sebaliknya, PTM yang sudah terakreditasi A perlu membagi pengalaman dan kerjasama dengan PTM lainnya untuk mampu meningkatkan kemampuan institusional yang unggul.
Kedua, PTM perlu terus untuk meningkatkan kualitas baik secara kelembangan maupun sumberdaya manusianya. Sebagai institusi pendidikan tinggi tentu PTM harus melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Ketiga aspek ini harus terus ditingkatkan, khususnya di aspek penelitian dan penerbitan. Sudah menjadi rahasia umum kalau penelitian dan penerbitan (hampir PTdi seluruh Indonesia) masih sangat kurang. PTM harus mengisi kekurangan ini dengan meningkatkan secara optimal fungsi pengkajian, penelitian, dan penerbitan. Degan ketiga aktivitas itulah ilmu pengetahuan dapat berkembangan, disebarkan dan bermanfaat luas. Pelan-pelan tapi pasti harus diseimbangkan, PTM yang hanya menitikberatkan pada pengajaran saja, menjadi PTM yang mampu memberi porsi yang sama antara pengajaran dan penelitian.
Ketiga, semangat kewirausahaan harus tumbuh dan berkembang di kalangan pengelola PTM. Pembiayaan PTM selama ini sebagian besar berasal dari dana mahasiswa, bantuan hibah pemerintah, dan bantuan lainnya. Beberapa PTM, semisal Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan UMY mencoba membangun sayap bisnis dalam rangka membangun kemandirian untuk jangka panjang. UMM telah memiliki hotel, pom bensin, toko buku, bahkan terakhir membeli wahana wisata Sengkaling. UMY memiliki BMT dan Perusahaan Travelling. Ke depan PTM perlu membuat alternatif pendanaan di luar dana yang berasal dari Mahasiswa, diperlukan lini bisnis yang mampu menopang pengembangan kampus serta kesejahteraan dosen dan karyawannya.
Keempat, dalam amatan Anthony Welch (2012), seorang ahli pendidikan tinggi dari Universitas Sydney, melihat bahwa Perguruan Tinggi di Indonesia masih belum mampu melakukan regionalisasi di kawasan Asia Tenggara. Baik PTN dan PTS Indonesia masih kalah bersaing dengan Universitas-Universitas yang berasal dari Thailand, Malaysia, Filipina, dan pastinya juga Singapura. Regionalisasi yang dimaksud adalah upaya membangun jejaring dan kerjasana dengan kampus-kampus yang berada di kawasan (regional) Asia Tenggara atau pun di kawasan Asia Pasifik. Peran Perguruan Tinggi Indonesia masih sangat minim kalau tidak boleh mengatakan marjinal. Hal ini bisa dilihat dari belum optimal partisipasi kampus-kampus Indonesia di ASEAN Universities Networks dan SEAMEO RIHED (South-East Asian Ministry of Education Organization Regional Centre for Higher Education and Development).
PTM harus menyadari bahwa dengan berjejaring dan kerjasama dengan berbagai kampus baik dalam maupun luar negeri, dengan kampus di kawasan Asia Tenggara atau bahkan di seluruh dunia akan juga memacu semangat untuk terus meningkatkan kualitas institusi dan sumberdaya manusia.  Minimal PTM yang belum maju bisa berjejaring dan kerjasama dengan PTN dan PTM yang sudah maju. Dengan harapan mampu mereduplikasi, menyerap, dan mencontoh tata kelola yang baik, budaya akademik yang unggul, serta semangat untuk terus bekerja secara kreatif, inovatif, dan kompetitif. Dengan upaya serius tersebut, saya yakin PTM akan mampu memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan iptek dan ikut meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia di masa depan. Semoga.





Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top