Kun dan Jejak Tarian Kosmik



Dr. Mohd. Sabri AR, MA.
Koordinator Forum Cendekiawan
Muhammadiyah



Verbum Dei: Bermula pada sunyi ke bunyi.
Lalu suara yang menubuh pada aksara

Permenungan diskursif tentang manusia primordial—manusia yang mula asal menghuni semesta—telah mengalir deras dalam sebilah garis sejarah yang beku, selama ribuan tahun. Tiga tungku wirawicara soal manusia pontifex ini pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing membangun argumen yang ringkih. Tak ada sepakat. Saling menyerang. Satu-satunya yang secara relatif bulat bisa diterima tanpa jejak perselisihan, bahwa manusia ditemukan dalam aksara. Atau, manusia ada dalam dan lahir dari rahim aksara.
Dalam tradisi Islam, “kun!” diyakini sebagai verbum dei: aksara Tuhan yang mengembuskan semesta cipta, juga penciptaan manusia. Kun, dan ben­tuknya yang aneka dalam bahasa kehidupan, melukiskan bagaimana sebuah ikhwal bermula ditandai dengan aksara. Tak kurang dari teosof Muslim genial Abad Pertengahan, Ibn ‘Arabi, menulis dengan tinta ‘irfani, Syajarat al-Kawn (“Pohon Kosmik”), sebuah kisah tentang asal-usul semesta yang tumbuh dari benih “kun”. Ibn ‘Arabi mendaku, “kawn” (kosmik) sejatinya berakar dari “kun,” titah Tuhan yang menandai setiap penciptaan: bermula pada senyap-sunyi yang mengepung Kemahatunggalan-Nya, lalu Dia mencipta segala sesuatu di-luar-diriNya. Kun, sebab itu, adalah jejak awal seluruh penciptaan.
Aksara, sebagai manifestasi kun yang paling dini, mengandaikan kei­kutsertaan ide, gagasan, juga imajinasi, intuisi dan infinitum di tubuhnya. Dengan aksara kita menuangkan gagasan, ide, dan dentuman rindu: aksara dan ide adalah dua paras yang tak bisa diisolasi. Tapi, karena aksara menjadi corong ide, pikir, dan rasa (zawq), ia pun menyisakan ruang yang terbelah. Karena berpikir berarti konseptualisasi, definisi, kategorisasi, klasifikasi dan abstraksi. Namun ‘keterbelahan’ aksara bukan sebuah cela yang nista, tapi justru menjadi ruang untuk mer­ayakan kepelbagaian makna.

Aksara dan Baca
Awalnya adalah aksara. Setelah itu, baca. Mungkin inilah yang menandai imperatif Tuhan: Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang mencipta (Qs. 96:1), yang menya­pa Muhammad Sang Tajalli Kamil. Angin musim meme­luk tiang-tiang gurun. Gua Hira senyum merengkuh Mu­hammad dalam permenungan panjangnya yang sublim: tak jemu menanti kode, meletihkan tapi juga agung. Dari sunyi yang suci, yang misterium- tremendum-fascinans, sebut Otto, lalu aksara hadir melesat. Muhammad, yang tak punya kepiawaian aksara, yang “ummi,” justru mener­ima aksara langit, corpus dei: diminta untuk membacanya, mengejanya berulang-ulang lalu tersimpan kukuh dalam jantung Sang Nabi yang suci.
Namun ada ikhwal lain. Pembacaan yang patuh terhadap aksara, me­nyisakan ancaman: jatuhnya seseorang ke dalam lembah keseragaman (uni­formity). Sebaliknya, pembacaan yang ‘liar’ dan tak ingin takluk pada uniform­ity—dalam suluh pikir Wittgenstein—dapat menjadi perangkat dasar dalam menjaring makna yang terhampar pada sekujur tata kosmik, perihal diri, dan Tuhan. Aktus membaca memang bukan arus yang sepihak, tapi gemuruh: melibatkan persepsi intelek, latar sosio-spasiotemporal, imajinasi, emosi, dan juga ego. Karena itu, membaca, adalah arus yang menyimpul banyak soal dalam aku-sadar. Seorang pembaca yang baik adalah seorang yang membiarkan setiap inci irama ‘diri’-nya bersenandung bersama aksara: senandung dengan kesenyapan yang liar. Paul Ricoeur menyebutnya, la chose de textè.
Dalam mitologi Mesir kuno, Thoth dipercayai se­bagai sang penemu aksara. Thoth memiliki nama yang aneka di sejumlah peradaban antik. Di Persia, ia dikenal dengan nama Hushang, Ukhnuh (Yahudi), Kenokh (Kristen), Idris (Islam), dan Hermes (Yunani). Nama terakhir, punya keterkaitan dengan hermeneu­tica philosophy, sebuah tradisi filsafat bahasa yang memosikan text sebagai medan penafsiran semesta tanda. Di sana, setiap ikhtiar penyingkapan makna text, menegasikan sikap pretensi benar, dan klaim ke­benaran, membajak fakta dan imajinasi dalam tafsir tunggal: biarkan nafas dan ritme menjadi tanda, dan Tuhan sebagai penyaksi.
Setiap text—dalam pendakuan Thoth—adalah je­jak pharmakhon yang menangkup dua arti: “racun” dan “obat”. Text menjadi racun, ketika ia menjadi ter­ungku dan tak lagi mampu merengkuh lautan makna di balik realitas yang coba dilukiskannya. Text sebagai obat-penawar, karena ia bisa mewariskan makna se­cara autentik dari generasi ke generasi.
Dalam literasi Islam, penyingkapan makna text suci Al-Qur’an misalnya, mengenal tiga paras: tar­jamah, tafsir, dan ta’wil. Tarjamah, adalah penelu­suran makna dengan melihat relasi text-text. Tafsir mengonstruk makna dari serpihan yang tercecer pada relasi text-context. Sementara takwil, mencoba me­nyelami makna terdalam di balik sebuah teks: inner meaning of the text.
Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dicipta oleh rongga dan kodrat. Konstruksi verbal tentang Tu­han, juga titah-Nya, mengalir dalam anak sungai literasi yang dingin, meski bergerak untuk menerobos pelintasan yang tak tepermanai. (*)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top