INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
CB Magazine »
Hikmah
»
Kun dan Jejak Tarian Kosmik
Kun dan Jejak Tarian Kosmik
Posted by CB Magazine on Jumat, 05 September 2014 |
Hikmah
Dr. Mohd.
Sabri AR, MA.
Koordinator Forum Cendekiawan
Muhammadiyah
Verbum Dei:
Bermula pada sunyi ke bunyi.
Lalu suara
yang menubuh pada aksara
Permenungan diskursif tentang manusia primordial—manusia
yang mula asal menghuni semesta—telah mengalir deras dalam sebilah garis
sejarah yang beku, selama ribuan tahun. Tiga tungku wirawicara soal manusia
pontifex ini pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains.
Masing-masing membangun argumen yang ringkih. Tak ada sepakat. Saling
menyerang. Satu-satunya yang secara relatif bulat bisa diterima tanpa jejak
perselisihan, bahwa manusia ditemukan dalam aksara. Atau, manusia ada dalam dan
lahir dari rahim aksara.
Dalam tradisi Islam, “kun!”
diyakini sebagai verbum dei: aksara Tuhan yang mengembuskan semesta cipta, juga
penciptaan manusia. Kun, dan bentuknya yang aneka dalam bahasa kehidupan,
melukiskan bagaimana sebuah ikhwal bermula ditandai dengan aksara. Tak kurang
dari teosof Muslim genial Abad Pertengahan, Ibn ‘Arabi, menulis dengan tinta
‘irfani, Syajarat al-Kawn (“Pohon Kosmik”), sebuah kisah tentang asal-usul
semesta yang tumbuh dari benih “kun”. Ibn ‘Arabi mendaku, “kawn” (kosmik)
sejatinya berakar dari “kun,” titah Tuhan yang menandai setiap penciptaan: bermula
pada senyap-sunyi yang mengepung Kemahatunggalan-Nya, lalu Dia mencipta segala
sesuatu di-luar-diriNya. Kun, sebab itu, adalah jejak awal seluruh penciptaan.
Aksara, sebagai manifestasi kun yang paling dini,
mengandaikan keikutsertaan ide, gagasan, juga imajinasi, intuisi dan infinitum
di tubuhnya. Dengan aksara kita menuangkan gagasan, ide, dan dentuman rindu:
aksara dan ide adalah dua paras yang tak bisa diisolasi. Tapi, karena aksara
menjadi corong ide, pikir, dan rasa (zawq), ia pun menyisakan ruang yang
terbelah. Karena berpikir berarti konseptualisasi, definisi, kategorisasi,
klasifikasi dan abstraksi. Namun ‘keterbelahan’ aksara bukan sebuah cela yang
nista, tapi justru menjadi ruang untuk merayakan kepelbagaian makna.
Aksara dan Baca
Awalnya adalah aksara. Setelah itu, baca. Mungkin inilah
yang menandai imperatif Tuhan: Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang mencipta (Qs.
96:1), yang menyapa Muhammad Sang Tajalli Kamil. Angin musim memeluk
tiang-tiang gurun. Gua Hira senyum merengkuh Muhammad dalam permenungan
panjangnya yang sublim: tak jemu menanti kode, meletihkan tapi juga agung. Dari
sunyi yang suci, yang misterium- tremendum-fascinans, sebut Otto, lalu aksara
hadir melesat. Muhammad, yang tak punya kepiawaian aksara, yang “ummi,” justru menerima
aksara langit, corpus dei: diminta untuk membacanya, mengejanya berulang-ulang
lalu tersimpan kukuh dalam jantung Sang Nabi yang suci.
Namun ada ikhwal lain. Pembacaan
yang patuh terhadap aksara, menyisakan ancaman: jatuhnya seseorang ke dalam lembah
keseragaman (uniformity). Sebaliknya, pembacaan yang ‘liar’ dan tak ingin
takluk pada uniformity—dalam suluh pikir Wittgenstein—dapat menjadi perangkat
dasar dalam menjaring makna yang terhampar pada sekujur tata kosmik, perihal
diri, dan Tuhan. Aktus membaca memang bukan arus yang sepihak, tapi gemuruh:
melibatkan persepsi intelek, latar sosio-spasiotemporal, imajinasi, emosi, dan
juga ego. Karena itu, membaca, adalah arus yang menyimpul banyak soal dalam
aku-sadar. Seorang pembaca yang baik adalah seorang yang membiarkan setiap inci
irama ‘diri’-nya bersenandung bersama aksara: senandung dengan kesenyapan yang
liar. Paul Ricoeur menyebutnya, la chose de textè.
Dalam mitologi Mesir kuno, Thoth
dipercayai sebagai sang penemu aksara. Thoth memiliki nama yang aneka di
sejumlah peradaban antik. Di Persia, ia dikenal dengan nama Hushang, Ukhnuh
(Yahudi), Kenokh (Kristen), Idris (Islam), dan Hermes (Yunani). Nama terakhir,
punya keterkaitan dengan hermeneutica philosophy, sebuah tradisi filsafat
bahasa yang memosikan text sebagai medan penafsiran semesta tanda. Di sana,
setiap ikhtiar penyingkapan makna text, menegasikan sikap pretensi benar, dan
klaim kebenaran, membajak fakta dan imajinasi dalam tafsir tunggal: biarkan
nafas dan ritme menjadi tanda, dan Tuhan sebagai penyaksi.
Setiap text—dalam pendakuan
Thoth—adalah jejak pharmakhon yang menangkup dua arti: “racun” dan “obat”.
Text menjadi racun, ketika ia menjadi terungku dan tak lagi mampu merengkuh
lautan makna di balik realitas yang coba dilukiskannya. Text sebagai
obat-penawar, karena ia bisa mewariskan makna secara autentik dari generasi ke
generasi.
Dalam literasi Islam, penyingkapan
makna text suci Al-Qur’an misalnya, mengenal tiga paras: tarjamah, tafsir, dan
ta’wil. Tarjamah, adalah penelusuran makna dengan melihat relasi text-text.
Tafsir mengonstruk makna dari serpihan yang tercecer pada relasi text-context.
Sementara takwil, mencoba menyelami makna terdalam di balik sebuah teks: inner
meaning of the text.
Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dicipta oleh
rongga dan kodrat. Konstruksi verbal tentang Tuhan, juga titah-Nya, mengalir
dalam anak sungai literasi yang dingin, meski bergerak untuk menerobos
pelintasan yang tak tepermanai. (*)
Tidak ada komentar: