Desa yang Ingin Menculik Matahari

Oleh : Esye Yusuf Lapimen*

Semenjak turunnya hujan tanpa henti sejak bulan lalu, ketakutan penduduk semakin terasa. Mereka takut banjir besar datang melanda seperti desa-desa tetangga. Mereka takut, semua ternaknya akan mati tersapu banjir. Hasil pertanian akan hanyut. Pohon-pohon akan tumbang, sebab hujan selalu disertai angin kencang. Dan, banyak lagi ketakutan mereka, soal tanah longsor, soal petir yang semakin sering bergemuruh, soal makanan yang semakin sulit didapati, dan soal air bersih, hingga soal jambangan.
Salah satu yang merasakan hal itu adalah Imnyung, hidup bersama istrinya dan dua orang anaknya yang belum bisa mengenal huruf A hingga Z. Di ruang tamu, dengan istrinya, dia memandangi rinai-rinai hujan yang enggan berhenti. Sebanyak air yang turun dari langit, sebanyak itu pula ketakutan yang datang.
Suami istri itu sibuk membicarakan langkah-langkah agar hujan sesegera mungkin dihentikan. Dia takut, jangan sampai desanya yang berada di kaki bukit akan bernasib sama dengan desa-desa di bantaran sungai, muara, dan pantai bakau sana. Di sana, tidak ada lagi tanah yang terlihat. Atap-atap rumah penduduk hanya terlihat sejengkal. Dan, pohon-pohon yang belum tumbang disapu angin, nampak meliuk sesekali, seperti meminta pertolongan. Tetapi manusia hanya menyelamatkan dirinya.
Keduanya terjebak dalam perdebatan yang alot. Sang Istri memaksa Imnyung berlari menembus hujan, ke rumah Pak RT, memohon agar segera diadakan pertemuan warga untuk membahas cara menghetikan hujan. Namun, Imnyung menolak, dia yakin pertemuan tersebut sulit diwujudkan. Kalau terjadi, pertemuan akan berujung sia-sia.
Sang Istri tidak menyerah, meskipun ketakutan melebihi kekuaratan nalarnya. Sang Istri memohon dengan sangat, menyertakan ketakutan dalam rayuan. Imnyung menangkapnya dan luluh.  Sebelum pergi dikecupnya kening Sang Istri, tersenyum, lalu berbalik menuju pintu rumah yang tidak pernah dibukanya. Wajar, siapa yang ingin bertamu di tengah hujan yang tidak berkesudahan?
Imnyung berlari sekuat tenaga, sepertinya dia takut hujan membasahinya. Tetapi, bukanlah hujan bila tidak membasahi. Kaos tipis yang digunakan melukiskan dengan kasar tulang-tulang rusuknya. Percikan kubangan air yang diinjaknya dengan hentak, membasuh wajah dan hanya diusapnya sekali. Terus berlari, dia takut basah, padahal basah telah menyertainya. Kuyup.
Sesampainya, di rumah Pak RT, diutarakannya niatnya secara langsung dari perbincangan alot bersama istrinya. Dikatakannya, bahwa saat ini para warga harus beramai-ramai, bahu membahu, bantu membantu, gotong royong untuk membebaskan desa. Caranya; mencuri matahari. Tepatnya, membebaskan matahari. Ide gila dari sepasang suami istri, yang hendak menyekolahkan anak pun tak mampu, tentu Pak RT tidak setuju dan menerima hal itu.
Imnyung terus mendesak, seperti yang dilakukan oleh sang istri padanya. Secara gamblang dijelaskannya alasan idenya. “Saat ini, matahari telah terjebak di balik gunung. Takut keluar dari peraduannya. Sebab, hujan terus turun tiada henti. Sebenarnya, matahari hendak bersinar lagi. Tetapi, untuk apa bersinar bila sinarannya harus ditutupi hujan,” jelasnya.
“Olehnya itu, kami para warga harus membebaskannya. Membuat kepercayaan dirinya pulih. Membuatnya bersinar lagi. Tidakkah bapak liat di ujung gunung sana, saat pagi datang? Ada warna merah kelembutan, isyarat sinar ketakutan. Matahari menunggu kami, para warga. Kami harus saling bantu, sebelum desa tenggelam, seperti yang berada di desa bawah sana. Apa kata leluhur, jika kami yang berada di kaki bukit tidak mampu berbuat apa-apa?” Dia telah merasa penjelasannya cukup saat itu. Dipilihnya berpaling setelah kata terakhir. Tetapi, Pak RT mengisyaratkan agar dirinya dapat menunggu sejenak. “Ayo, Kita ke rumah Pak RW, kita harus yakinkan dia,” katanya.
Berangkatlah keduanya menembus hujan, memburu waktu sebelum terlambat membebaskan desanya, sebab tiba-tiba dirasanya waktu berputar begitu cepat. Keduanya yakin, hal tersebut harus diwujudkan. Ya, membebaskan matahari. Tetapi, langkahnya bagaimana? Kedua belum bicara hal itu, yang paling penting sekarang adalah meyakinkan semua warga atas ide itu.
Tentunya, langkah pertama untuk meyakinkan warga adalah meyakinkan Pak RW. Lalu Pak RW akan mengumpulkan para RT-nya. Bila mereka sepakat, maka akan dibentuk tim lobi untuk melobi para RW se-desa. Agar ide dan gagasan dengan mudah disebarkan. Imnyong, akan ditunjuk sebagai ketua tim lobi. Bila para RW telah sepakat, maka akan dibentuk tim perangcang teknis terkait langkah-langkah taktis menyelamatkan matahari. Semua pasti ada rintangannya, apalagi bersangkut paut dengan isi kepala orang perorang.
Setelah melakukan perdebatan yang panjang dengan pak RW. Akhirnya, pak RW setuju unjuk menjalankan ide tersebut. Dimintanya kedua tamunya untuk memberi kabar kepada para RT saat itu juga, agar dapat berkumpul di rumahnya saat petang menyapa. Kini, Pak RW pun merasa bahwa waktu telah berputar begitu cepat.
Setelah tugasnya selesai, Imnyung kembali menemui istrinya. Menceritakan idenya telah disetujui hingga tingkat RW. Sebentar lagi, para RT akan sepakat, dan dia akan ditunjuk sebagai juru lobi. Mengajak para ketua RW membebaskan matahari. Rapat-rapat di kantor desa akan selalu meminta pendapatnya. Bila berhasil, dia akan dipuja sebagai pahlawan desa. Menghentikan hujan, menghalau banjir dan membebaskan matahari. Bila ada uang penghargaan, maka dia akan memberikan sepenuhnya untuk Sang Istri sebagai harga atas idenya.
Saat petang menghampiri, hujan belum juga memberikan tanda akan berakhir. Para ketua RT berjalan menembus rinai-rinai hujan dengan berpayung daun pisang. Gelap, tiada penerangan. Sebab, penduduk takut menyalakan lampu dengan petir yang kian gemuruh. Apalagi menyalakan listrik saat air berlimpah ruah adalah kesalahan fatal. Telah banyak yang meninggal atas tindakan itu.
Sesaat setelah mereka berkumpul, Pak RW sebagai pemegang kekuasaan puncak saat itu membeberkan alasannya memanggil para tamunya. Setelahnya, dia mempersilahkan Imnyung menjelaskan idenya. Ya, menculik matahari. Tepatnya membebaskan matahari.
Pembicaraan berlangsung alot. Ada yang bertanya soal cara, tetapi Imnyung tidak mau menjawab hal itu. “Kami mesti sepakat dulu akan ide ini, barulah kami akan membicarakan caranya secara bersama-sama dengan para warga,” jawabnya soal itu.
Para ketua RT sebenarnya kurang pantas untuk menolak hal itu, sebab ketua RW telah setuju. “Kalau pak RW sudah setuju. Kami juga telah setuju,” kata seorang diantara mereka. Selanjutnya adalah pembentukan tim lobi dan memang berhasil diketuai oleh Imnyung. Tugas ini adalah memastikan para ketua RW lainnya untuk sepakat, lalu akan bersama-sama menemui Pak Desa. Waktunya hanya sehari. Imnyung tentunya akan bekerja secara maksimal.
Esoknya, Imnyung bangun begitu pagi. Udara terasa menusuk-nusuknya, tidak mampu lagi dibedakannya; dingin hujan dan dingin pagi kaki bukit. Dia bergegas menuju teras rumah. Dipandanginya ke arah gunung, menunggu merah kelembutan itu muncul. Sinaran matahari yang terkulai tak berdaya karena takut akan derasnya hujan. Ingin rasanya dia mengirim surat, mengatakan kabar bahwa bukan hanya matahari yang takut, tetapi semua warga. Di surat itu juga tertulis; akulah penyelematmu!
Setelahnya, dia berjalan menembus hujan. Tidak takut lagi terhadap hujan, meski telah menyebut jikalau hujan adalah musuhnya saat itu. Terkadang musuh harus dihadapi, merasakan belaiannya untuk mengetahui kelemahan.
Tentu saja Dia telah menganggap hujan sebagai musuh, sebab hujanlah matahari tidak lagi bersinar. Sebab hujanlah tanah tidak lagi ditanami. Sebab hujanlah ternak tidak lagi bersuara. Sebab hujanlah perempuan mengurung diri dalam kamar. Sebab hujanlah lelaki takut keluar rumah. Sebab hujanlah desanya menjadi sunyi.
Bersama anggota tim yang telah menunggunya di rumah pak RW, Imnyung berjalan ke rumah-rumah para RW lainnya. Mengutarakan niat, memberi penjelasan, berharap dukungan. Alhasil, lima ketua RW di desa itu menyatakan setuju. Bahkan, mereka hendak menemui kepala desa saat petang kembali melajang tanpa sinar rembulan. Mereka sepertinya telah merasakan bahwa waktu telah berjalan begitu cepat. Penyelamatan akan segera dilakukan secara bersama-sama.
Waktu terus berjalan. Setelah ditemui, kepala desa pun turut sepakat. Dia ikut merasakan bahwa waktu telah berjalan begitu cepat. Dia berjanji akan menggelar rapat esok harinya, dan meminta para ketua RW melalui ketua RT-nya untuk mengumpulkan warga di kantor desa. Dengan cepat, kabar beredar dari mulut ke mulut menuju telinga ke telinga. Nyaris, warga desa tidak ada yang mampu tertidur. Mereka menunggu esok tiba, lalu berbicara soal langkah-langkah membebaskan matahari. Imnyung pun demikian, bersama istrinya menunggu esok tiba. Di teras rumah, dia menghayati dingin yang tidak mampu lagi dibedakannya, dinginnya hujan atau dinginnya malam kaki bukit.
###
Setelah permusyaratan desa waktu lalu. Semua warga bahu membahu mempersiapkan tempat untuk matahari. Ya, semacam rumah. Bangunan itu, seluruhnya terbuat dari baja ringan. Entah dari mana dia menemukan itu semua. Mungkin mereka telah menjarah toko bangunan desa tetangga yang telah ditinggal pergi pemiliknya karena banjir melanda. Mereka menyelam dan menarik ke atas. Ataukah, dia membongkar kerangka atap milik gudang ikan para nelayan yang baru saja dibangun atas bantuan pemerintah. Mungkin saja, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang terdesak?
Rumah itu, dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan matahari agar tidak terkena hujan. Dengan demikian, sinarnya akan berlahan muncul dan menerangi sekitarnya. Akhirnya, hujan akan berangsur-angsur berhenti, sebab sebelum menyentuh tanah, dia telah menguap. Diharapkannya, hujan berbalik takut terhadap matahari yang meotong langkahnya.
Warga lainnya menyiapkan kereta mini sepuluh roda. Rodanya diambil dari ban sepeda mereka yang tidak lagi terpakai. Bagian atasnya terdapat sebuah bilik yang juga terbuat dari baja ringan, dibentuknya pula menyerupai rumah kecil. Tidak lupa, dibuat beberapa ruas besi menjulur di sisi kiri dan kanan. Agar mereka lebih mudah untuk mendorong kereta nantinya. Mereka akan menjemput matahari dari balik gunung dengan kereta itu. Olehnya, mereka harus bertindak cepat, sebelum banjir sampai di desanya. Rencananya akan gagal karena itu, sebab matahari akan semakin kesakitan bila tersapu banjir bersama mereka.
Akan tetapi, kabar mulut lebih cepat ketimbang tindakan. Entah siapa yang menceritakan ke desa sebelah yang letaknya lebih tinggi darinya. Desa yang diuntungkan karena posisi dan tidak takut akan banjir. Desa itulah yang menjadi sumber petaka berikutnya. Bagaimana tidak? Warga desa itu menolak dengan keras akan ide desa yang ingin menyelematkan matahari. Alasannya sederhana, mereka takut desanya akan hangus bila matahari melewati pedesaannya.
Dia pun membangun hasutan dengan desa-desa yang menjadi rute penculikan matahari dari balik gunung. Mereka beramai-ramai menyatakan penolakannya, dan membawahnya pada rapat kecamatan. Camat pun menganggap bahwa tindakan warga desa itu sangatlah berbahaya. Bila mereka berhasil menculik matahari, maka yang terjadi adalah kebinasaan.
Berulang kali camat melakukan negosiasi dengan para warga desa setempat untuk membatalkan niatnya. Namun, warga desa tersebut sulit untuk dipatahkan. “Manalah mungkin kami akan tunduk pada orang yang tidak mengerti nasib kami. Saudara kami telah meninggalkan desa sana, malah mereka hanya mengatakan itu bencana kemanusiaan,” itu kata kepala desa setelah dibujuk. Sekaligus menjadi penyemangat atas warganya.
Merasa tidak mampu, camat mencoba meminta bantuan bupati. Dijelaskannya bahwa warga desa setempat telah bersikukuh atas kehendaknya melebihi kehendak Tuhannya. Bupati pun turun tangan. Namun, para warga semakin geram. Soalnya, bupati menawarkan desa yang layak bagi warga di puncak bukit bila sudi mengurungkan niatnya. “Bagaimana kami akan patuh, bila mereka meminta kami untuk meninggalkan tanah yang telah membesarkan kami. Nenek moyang kami telah berdiam disini sekian lama,” seru kepala desa kepada warganya. Semangat untuk mewujudkan semakin menguat. Mereka sebut kebaikan bupati itu sebagai hinaan terhadapnya.
Para kantor berita ternama pun ikut merasakan panasnya perbedaan pendapat tersebut. “Kepala Desa Lawan Bupati” judul berita headline hari itu cukup menampar para bupati-bupati. Mereka pun turut menyatakan kekecewaan atas tindakan warga desa tersebut. Perkumpulan bupati pun menggelar pertemuan tertutup dan mendesak gubernur untuk mengambil langkah strategis dan bijak akan hal itu.
Sesuai desakan, gubernur langsung bertindak, merumuskan tindakan bersama staffnya. Para anggota dewan pun tidak mau kalah mengambil kesempatan. Di media, silih berganti mereka berbicara; “gubernur seharusnya turun langsung ke lokasi dan memberikan pemahaman, bukan hanya sibuk menggelar rapat tanpa tidakan”. Adapula yang berkomentar; ”bencana yang menimpa warga di desa sana adalah bentuk ketidak mampuan pemerintah membangun langkah persuasif terhadap warganya”. Bahkan, ada yang mengatakan; “ini adalah bentuk ketidak percayaan warga terhadap pimpinannya, diantara sekian banyak kebohongan yang telah terbangun”.
Bagaimanapun itu, dengan cepat kejadian ini menjadi isu nasional. Presiden pun akhirnya berkomentar, bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang harus dihentikan. Warga yang ingin menculik matahari, melawan camat, tidak mempercayai bupati adalah penghinaan terhadap perangkat pemerintah. Penghinaan atas itu adalah pebuatan makar. Perbuatan makar adalah musuh negara. Musuh negara harus diberangus. Diberangus dengan mengerahkan kekuatan militer.
Bahkan, dalam pidato singkatnya. Presiden mengatakan, tindakan tersebut tidak boleh dibenarkan, sebab warga dunia akan turut berduka apabila matahari tidak lagi berada di peraduannya. “Saya selaku presiden tidak akan membiarkan konstalasi dunia menjadi kacau, hanya karena segelintir orang tidak berpendidikan ingin membodohi kami semua. Dunia akan berduaka. Lalu, dunia akan memberikan somasi terhadap negara kami. Negara yang telah dibangun oleh para guru bangsa. Olehnya, kami harus menjaganya secara bersama-sama”.
Mendengar kabar pidato itu, para warga setempat semakin geram. Mereka menganggap bahwa presiden sudah tidak menghargai hak-hak kewarganegaraan yang bebas menentukan pendapat. Mereka menganggap bahwa presiden lebih mementingkan nasib negara lain, ketimbang nasib negaranya sendiri. Mereka pun menyatakan perang, kepada siapapun yang menghalangi niatnya. Termasuk kepada negara.
Kini, mereka bukan hanya mempersiapkan cara menculik matahari. Tetapi, mereka juga menyiapkan perlawanan saat serangan datang tak diundang.
###
Mereka mempersiapkan begitu lama, namun teliti. Hingga akhirnya hujan tiba-tiba berhenti. Akan tetapi, mereka tidak melihat matahari di balik gunung. Matahari telah berada di ujung laut, bersiap untuk membenamkan diri dan bermandi air garam, gerah bermandi air tawar. Petang menjemput.

Dari udara, suara pesawat mengaum, menghujani warga dengan api. Mungkin saja semuanya tewas. Sebab, tidak ada lagi kisah desa itu setelahnya. 


*Penulis Adalah Redaktur Pelaksana Majalah Khittah dan Direktur Kominitas Lamaruddani

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top