INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
CB Magazine »
Sastra
»
Desa yang Ingin Menculik Matahari
Desa yang Ingin Menculik Matahari
Posted by CB Magazine on Rabu, 17 September 2014 |
Sastra
Oleh : Esye Yusuf Lapimen*
Semenjak turunnya hujan tanpa henti sejak bulan lalu,
ketakutan penduduk semakin terasa. Mereka takut banjir besar datang melanda
seperti desa-desa tetangga. Mereka takut, semua ternaknya akan mati tersapu
banjir. Hasil pertanian akan hanyut. Pohon-pohon akan tumbang, sebab hujan
selalu disertai angin kencang. Dan, banyak lagi ketakutan mereka, soal tanah
longsor, soal petir yang semakin sering bergemuruh, soal makanan yang semakin
sulit didapati, dan soal air bersih, hingga soal jambangan.
Salah satu yang merasakan hal itu adalah Imnyung, hidup
bersama istrinya dan dua orang anaknya yang belum bisa mengenal huruf A hingga
Z. Di ruang tamu, dengan istrinya, dia memandangi rinai-rinai hujan yang enggan
berhenti. Sebanyak air yang turun dari langit, sebanyak itu pula ketakutan yang
datang.
Suami istri itu sibuk membicarakan langkah-langkah agar
hujan sesegera mungkin dihentikan. Dia takut, jangan sampai desanya yang berada
di kaki bukit akan bernasib sama dengan desa-desa di bantaran sungai, muara,
dan pantai bakau sana. Di sana, tidak ada lagi tanah yang terlihat. Atap-atap
rumah penduduk hanya terlihat sejengkal. Dan, pohon-pohon yang belum tumbang
disapu angin, nampak meliuk sesekali, seperti meminta pertolongan. Tetapi
manusia hanya menyelamatkan dirinya.
Keduanya terjebak dalam perdebatan yang alot. Sang Istri
memaksa Imnyung berlari menembus hujan, ke rumah Pak RT, memohon agar segera
diadakan pertemuan warga untuk membahas cara menghetikan hujan. Namun, Imnyung
menolak, dia yakin pertemuan tersebut sulit diwujudkan. Kalau terjadi,
pertemuan akan berujung sia-sia.
Sang Istri tidak menyerah, meskipun ketakutan melebihi kekuaratan
nalarnya. Sang Istri memohon dengan sangat, menyertakan ketakutan dalam rayuan.
Imnyung menangkapnya dan luluh. Sebelum
pergi dikecupnya kening Sang Istri, tersenyum, lalu berbalik menuju pintu rumah
yang tidak pernah dibukanya. Wajar, siapa yang ingin bertamu di tengah hujan
yang tidak berkesudahan?
Imnyung berlari sekuat tenaga, sepertinya dia takut hujan
membasahinya. Tetapi, bukanlah hujan bila tidak membasahi. Kaos tipis yang
digunakan melukiskan dengan kasar tulang-tulang rusuknya. Percikan kubangan air
yang diinjaknya dengan hentak, membasuh wajah dan hanya diusapnya sekali. Terus
berlari, dia takut basah, padahal basah telah menyertainya. Kuyup.
Sesampainya, di rumah Pak RT, diutarakannya niatnya secara
langsung dari perbincangan alot bersama istrinya. Dikatakannya, bahwa saat ini
para warga harus beramai-ramai, bahu membahu, bantu membantu, gotong royong
untuk membebaskan desa. Caranya; mencuri matahari. Tepatnya, membebaskan
matahari. Ide gila dari sepasang suami istri, yang hendak menyekolahkan anak
pun tak mampu, tentu Pak RT tidak setuju dan menerima hal itu.
Imnyung terus mendesak, seperti yang dilakukan oleh sang
istri padanya. Secara gamblang dijelaskannya alasan idenya. “Saat ini, matahari
telah terjebak di balik gunung. Takut keluar dari peraduannya. Sebab, hujan
terus turun tiada henti. Sebenarnya, matahari hendak bersinar lagi. Tetapi,
untuk apa bersinar bila sinarannya harus ditutupi hujan,” jelasnya.
“Olehnya itu, kami para warga harus membebaskannya. Membuat
kepercayaan dirinya pulih. Membuatnya bersinar lagi. Tidakkah bapak liat di
ujung gunung sana, saat pagi datang? Ada warna merah kelembutan, isyarat sinar
ketakutan. Matahari menunggu kami, para warga. Kami harus saling bantu, sebelum
desa tenggelam, seperti yang berada di desa bawah sana. Apa kata leluhur, jika
kami yang berada di kaki bukit tidak mampu berbuat apa-apa?” Dia telah merasa
penjelasannya cukup saat itu. Dipilihnya berpaling setelah kata terakhir.
Tetapi, Pak RT mengisyaratkan agar dirinya dapat menunggu sejenak. “Ayo, Kita
ke rumah Pak RW, kita harus yakinkan dia,” katanya.
Berangkatlah keduanya menembus hujan, memburu waktu sebelum
terlambat membebaskan desanya, sebab tiba-tiba dirasanya waktu berputar begitu
cepat. Keduanya yakin, hal tersebut harus diwujudkan. Ya, membebaskan matahari.
Tetapi, langkahnya bagaimana? Kedua belum bicara hal itu, yang paling penting
sekarang adalah meyakinkan semua warga atas ide itu.
Tentunya, langkah pertama untuk meyakinkan warga adalah
meyakinkan Pak RW. Lalu Pak RW akan mengumpulkan para RT-nya. Bila mereka
sepakat, maka akan dibentuk tim lobi untuk melobi para RW se-desa. Agar ide dan
gagasan dengan mudah disebarkan. Imnyong, akan ditunjuk sebagai ketua tim lobi.
Bila para RW telah sepakat, maka akan dibentuk tim perangcang teknis terkait
langkah-langkah taktis menyelamatkan matahari. Semua pasti ada rintangannya,
apalagi bersangkut paut dengan isi kepala orang perorang.
Setelah melakukan perdebatan yang panjang dengan pak RW.
Akhirnya, pak RW setuju unjuk menjalankan ide tersebut. Dimintanya kedua
tamunya untuk memberi kabar kepada para RT saat itu juga, agar dapat berkumpul
di rumahnya saat petang menyapa. Kini, Pak RW pun merasa bahwa waktu telah
berputar begitu cepat.
Setelah tugasnya selesai, Imnyung kembali menemui istrinya.
Menceritakan idenya telah disetujui hingga tingkat RW. Sebentar lagi, para RT
akan sepakat, dan dia akan ditunjuk sebagai juru lobi. Mengajak para ketua RW
membebaskan matahari. Rapat-rapat di kantor desa akan selalu meminta
pendapatnya. Bila berhasil, dia akan dipuja sebagai pahlawan desa. Menghentikan
hujan, menghalau banjir dan membebaskan matahari. Bila ada uang penghargaan,
maka dia akan memberikan sepenuhnya untuk Sang Istri sebagai harga atas idenya.
Saat petang menghampiri, hujan belum juga memberikan tanda
akan berakhir. Para ketua RT berjalan menembus rinai-rinai hujan dengan
berpayung daun pisang. Gelap, tiada penerangan. Sebab, penduduk takut
menyalakan lampu dengan petir yang kian gemuruh. Apalagi menyalakan listrik
saat air berlimpah ruah adalah kesalahan fatal. Telah banyak yang meninggal
atas tindakan itu.
Sesaat setelah mereka berkumpul, Pak RW sebagai pemegang
kekuasaan puncak saat itu membeberkan alasannya memanggil para tamunya.
Setelahnya, dia mempersilahkan Imnyung menjelaskan idenya. Ya, menculik
matahari. Tepatnya membebaskan matahari.
Pembicaraan berlangsung alot. Ada yang bertanya soal cara,
tetapi Imnyung tidak mau menjawab hal itu. “Kami mesti sepakat dulu akan ide
ini, barulah kami akan membicarakan caranya secara bersama-sama dengan para
warga,” jawabnya soal itu.
Para ketua RT sebenarnya kurang pantas untuk menolak hal
itu, sebab ketua RW telah setuju. “Kalau pak RW sudah setuju. Kami juga telah
setuju,” kata seorang diantara mereka. Selanjutnya adalah pembentukan tim lobi
dan memang berhasil diketuai oleh Imnyung. Tugas ini adalah memastikan para
ketua RW lainnya untuk sepakat, lalu akan bersama-sama menemui Pak Desa.
Waktunya hanya sehari. Imnyung tentunya akan bekerja secara maksimal.
Esoknya, Imnyung bangun begitu pagi. Udara terasa
menusuk-nusuknya, tidak mampu lagi dibedakannya; dingin hujan dan dingin pagi
kaki bukit. Dia bergegas menuju teras rumah. Dipandanginya ke arah gunung,
menunggu merah kelembutan itu muncul. Sinaran matahari yang terkulai tak
berdaya karena takut akan derasnya hujan. Ingin rasanya dia mengirim surat,
mengatakan kabar bahwa bukan hanya matahari yang takut, tetapi semua warga. Di
surat itu juga tertulis; akulah penyelematmu!
Setelahnya, dia berjalan menembus hujan. Tidak takut lagi
terhadap hujan, meski telah menyebut jikalau hujan adalah musuhnya saat itu.
Terkadang musuh harus dihadapi, merasakan belaiannya untuk mengetahui
kelemahan.
Tentu saja Dia telah menganggap hujan sebagai musuh, sebab
hujanlah matahari tidak lagi bersinar. Sebab hujanlah tanah tidak lagi
ditanami. Sebab hujanlah ternak tidak lagi bersuara. Sebab hujanlah perempuan
mengurung diri dalam kamar. Sebab hujanlah lelaki takut keluar rumah. Sebab
hujanlah desanya menjadi sunyi.
Bersama anggota tim yang telah menunggunya di rumah pak RW,
Imnyung berjalan ke rumah-rumah para RW lainnya. Mengutarakan niat, memberi
penjelasan, berharap dukungan. Alhasil, lima ketua RW di desa itu menyatakan
setuju. Bahkan, mereka hendak menemui kepala desa saat petang kembali melajang
tanpa sinar rembulan. Mereka sepertinya telah merasakan bahwa waktu telah
berjalan begitu cepat. Penyelamatan akan segera dilakukan secara bersama-sama.
Waktu terus berjalan. Setelah ditemui, kepala desa pun turut
sepakat. Dia ikut merasakan bahwa waktu telah berjalan begitu cepat. Dia
berjanji akan menggelar rapat esok harinya, dan meminta para ketua RW melalui
ketua RT-nya untuk mengumpulkan warga di kantor desa. Dengan cepat, kabar
beredar dari mulut ke mulut menuju telinga ke telinga. Nyaris, warga desa tidak
ada yang mampu tertidur. Mereka menunggu esok tiba, lalu berbicara soal
langkah-langkah membebaskan matahari. Imnyung pun demikian, bersama istrinya
menunggu esok tiba. Di teras rumah, dia menghayati dingin yang tidak mampu lagi
dibedakannya, dinginnya hujan atau dinginnya malam kaki bukit.
###
Setelah permusyaratan desa waktu lalu.
Semua warga bahu membahu mempersiapkan tempat untuk matahari. Ya, semacam
rumah. Bangunan itu, seluruhnya terbuat dari baja ringan. Entah dari mana dia
menemukan itu semua. Mungkin mereka telah menjarah toko bangunan desa tetangga
yang telah ditinggal pergi pemiliknya karena banjir melanda. Mereka menyelam
dan menarik ke atas. Ataukah, dia membongkar kerangka atap milik gudang ikan
para nelayan yang baru saja dibangun atas bantuan pemerintah. Mungkin saja, apa
yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang terdesak?
Rumah itu, dimaksudkan sebagai tempat
penyimpanan matahari agar tidak terkena hujan. Dengan demikian, sinarnya akan
berlahan muncul dan menerangi sekitarnya. Akhirnya, hujan akan berangsur-angsur
berhenti, sebab sebelum menyentuh tanah, dia telah menguap. Diharapkannya,
hujan berbalik takut terhadap matahari yang meotong langkahnya.
Warga lainnya menyiapkan kereta mini
sepuluh roda. Rodanya diambil dari ban sepeda mereka yang tidak lagi terpakai.
Bagian atasnya terdapat sebuah bilik yang juga terbuat dari baja ringan,
dibentuknya pula menyerupai rumah kecil. Tidak lupa, dibuat beberapa ruas besi
menjulur di sisi kiri dan kanan. Agar mereka lebih mudah untuk mendorong kereta
nantinya. Mereka akan menjemput matahari dari balik gunung dengan kereta itu.
Olehnya, mereka harus bertindak cepat, sebelum banjir sampai di desanya.
Rencananya akan gagal karena itu, sebab matahari akan semakin kesakitan bila
tersapu banjir bersama mereka.
Akan tetapi, kabar mulut lebih cepat
ketimbang tindakan. Entah siapa yang menceritakan ke desa sebelah yang letaknya
lebih tinggi darinya. Desa yang diuntungkan karena posisi dan tidak takut akan
banjir. Desa itulah yang menjadi sumber petaka berikutnya. Bagaimana tidak?
Warga desa itu menolak dengan keras akan ide desa yang ingin menyelematkan
matahari. Alasannya sederhana, mereka takut desanya akan hangus bila matahari
melewati pedesaannya.
Dia pun membangun hasutan dengan
desa-desa yang menjadi rute penculikan matahari dari balik gunung. Mereka
beramai-ramai menyatakan penolakannya, dan membawahnya pada rapat kecamatan.
Camat pun menganggap bahwa tindakan warga desa itu sangatlah berbahaya. Bila
mereka berhasil menculik matahari, maka yang terjadi adalah kebinasaan.
Berulang kali camat melakukan negosiasi
dengan para warga desa setempat untuk membatalkan niatnya. Namun, warga desa
tersebut sulit untuk dipatahkan. “Manalah mungkin kami akan tunduk pada orang
yang tidak mengerti nasib kami. Saudara kami telah meninggalkan desa sana,
malah mereka hanya mengatakan itu bencana kemanusiaan,” itu kata kepala desa
setelah dibujuk. Sekaligus menjadi penyemangat atas warganya.
Merasa tidak mampu, camat mencoba
meminta bantuan bupati. Dijelaskannya bahwa warga desa setempat telah
bersikukuh atas kehendaknya melebihi kehendak Tuhannya. Bupati pun turun
tangan. Namun, para warga semakin geram. Soalnya, bupati menawarkan desa yang
layak bagi warga di puncak bukit bila sudi mengurungkan niatnya. “Bagaimana
kami akan patuh, bila mereka meminta kami untuk meninggalkan tanah yang telah
membesarkan kami. Nenek moyang kami telah berdiam disini sekian lama,” seru
kepala desa kepada warganya. Semangat untuk mewujudkan semakin menguat. Mereka
sebut kebaikan bupati itu sebagai hinaan terhadapnya.
Para kantor berita ternama pun ikut
merasakan panasnya perbedaan pendapat tersebut. “Kepala Desa Lawan Bupati”
judul berita headline hari itu cukup
menampar para bupati-bupati. Mereka pun turut menyatakan kekecewaan atas
tindakan warga desa tersebut. Perkumpulan bupati pun menggelar pertemuan
tertutup dan mendesak gubernur untuk mengambil langkah strategis dan bijak akan
hal itu.
Sesuai desakan, gubernur langsung
bertindak, merumuskan tindakan bersama staffnya. Para anggota dewan pun tidak
mau kalah mengambil kesempatan. Di media, silih berganti mereka berbicara;
“gubernur seharusnya turun langsung ke lokasi dan memberikan pemahaman, bukan
hanya sibuk menggelar rapat tanpa tidakan”. Adapula yang berkomentar; ”bencana
yang menimpa warga di desa sana adalah bentuk ketidak mampuan pemerintah
membangun langkah persuasif terhadap warganya”. Bahkan, ada yang mengatakan;
“ini adalah bentuk ketidak percayaan warga terhadap pimpinannya, diantara
sekian banyak kebohongan yang telah terbangun”.
Bagaimanapun itu, dengan cepat kejadian
ini menjadi isu nasional. Presiden pun akhirnya berkomentar, bahwa tindakan
tersebut merupakan tindakan yang harus dihentikan. Warga yang ingin menculik
matahari, melawan camat, tidak mempercayai bupati adalah penghinaan terhadap
perangkat pemerintah. Penghinaan atas itu adalah pebuatan makar. Perbuatan
makar adalah musuh negara. Musuh negara harus diberangus. Diberangus dengan
mengerahkan kekuatan militer.
Bahkan, dalam pidato singkatnya.
Presiden mengatakan, tindakan tersebut tidak boleh dibenarkan, sebab warga
dunia akan turut berduka apabila matahari tidak lagi berada di peraduannya.
“Saya selaku presiden tidak akan membiarkan konstalasi dunia menjadi kacau,
hanya karena segelintir orang tidak berpendidikan ingin membodohi kami semua.
Dunia akan berduaka. Lalu, dunia akan memberikan somasi terhadap negara kami.
Negara yang telah dibangun oleh para guru bangsa. Olehnya, kami harus
menjaganya secara bersama-sama”.
Mendengar kabar pidato itu, para warga setempat semakin
geram. Mereka menganggap bahwa presiden sudah tidak menghargai hak-hak
kewarganegaraan yang bebas menentukan pendapat. Mereka menganggap bahwa
presiden lebih mementingkan nasib negara lain, ketimbang nasib negaranya
sendiri. Mereka pun menyatakan perang, kepada siapapun yang menghalangi
niatnya. Termasuk kepada negara.
Kini, mereka bukan hanya mempersiapkan cara menculik
matahari. Tetapi, mereka juga menyiapkan perlawanan saat serangan datang tak
diundang.
###
Mereka mempersiapkan begitu lama, namun teliti. Hingga
akhirnya hujan tiba-tiba berhenti. Akan tetapi, mereka tidak melihat matahari
di balik gunung. Matahari telah berada di ujung laut, bersiap untuk membenamkan
diri dan bermandi air garam, gerah bermandi air tawar. Petang menjemput.
Dari udara, suara pesawat mengaum, menghujani warga dengan
api. Mungkin saja semuanya tewas. Sebab, tidak ada lagi kisah desa itu
setelahnya.
*Penulis Adalah Redaktur Pelaksana Majalah Khittah dan Direktur Kominitas Lamaruddani
Tidak ada komentar: