INFO PASANG IKLAN
Popular Posts
-
Hadisaputra, M.Si,dan Nurhikmawaty Hasbiah bersama Ketua PWM Sulsel, Dr Muh Alwi Uddin (foto:ist)
-
Opini Oleh : Nur Faizah Anshar Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maup...
-
Aksi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Rabu, 20 Mei 2015(Foto:fb)
-
Syaharaddin Alrif, S. Sos (Foto : ist) Syaharuddin Alrif akhirnya ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Pimpinan Pusat...
-
Logo Musykom IMM FKIP Unismuh Makassar, Khittah - Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilm...
CB Magazine »
Literasi
,
Sastra
»
Dengarlah Nyanyian Angin, ‘Doxa-is’ Murakami Sempat Berkontra-Doxa!*
Dengarlah Nyanyian Angin, ‘Doxa-is’ Murakami Sempat Berkontra-Doxa!*
Oleh: Zulfikar Hafid
Bahasa yang tidak bebas atas klaim ‘bagus’ dan
‘tidak bagus’, ‘indah’ dan ‘tidak
indah’, serta ‘ilmiah’ dan ‘tidak ilmiah’, terlanjur menjadi doxa di masyarakat. Bahasa berupa
rangkaian kalimat atau wacana (teks), akhirnya, ada yang diterima gagasannya,
ada juga yang tidak berpengaruh sama sekali. Klaim-klaim ini didasarkan pada
standar ketetapan masyarakat, yang standar ini seolah-olah telah disepakati
secara sadar oleh seluruh pihak. Demikianlah Doxa, keberlakuan sudut
pandang pihak dominan, sementara sudut pandang ini seakan-akan merupakan sudut
pandang universal yang disadari (Haryatmoko, 2010: 163).
Doxa
dan
kontra-doxa dalam bahasa dan
kepenulisan dihadirkan oleh Haruki Murakami. Hal ini saya simpulkan dari interpretasi
saya sebagai pembaca atas novel pertamanya, Dengarlah
Nyanyian Angin (2013) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1979. Dalam novel ini, atau setidaknya hanya
pada novel ini, Murakami berusaha menenangkan para penulis yang dalam
keberlangsungan kegiatan menulisanya sangat dekat dengan keputusasaan. Keputusasaan
karena tulisan-tulisan yang dihadirkannya jauh dari penilaiaan baik dan keputusasaan
karena kata hingga paragraf yang dituliskannya jauh dari doxa bahasa yang berlaku. Upaya penenangan oleh Murakami ini, saya
nilai sebagai tindakan kontra-doxa.
Kontra-doxa yang dihadirkan oleh Murakami
sebagai upaya penenangan tersebut, menurut saya, salah satunya terlihat pada pengangkatan
keterobsesian sosok Aku pada penulis Amerika yang karya-karyanya dianggap tidak
sampai pada doxa sebuah karya tulis-baik
oleh khalayak. Dialah Derek Heartfield, Penulis Amerika yang karyanya selalu
dinilai biasa-biasa saja, bahkan dinilai
buruk (hal. 2). Murakami juga menghadirkan Aku sebagai sosok yang ingin
sekali menjadi penulis-sesuai doxa,
namun selalu ‘terasa’ gagal. Selain itu,
kontra-doxa juga terlihat pada penghadiran
upaya Aku untuk menjadi penulis sesuai-doxa,
namun Si Aku hanya membuat sebuah catatan berjilid dengan garis tengah di
tengah-tengah halamannya, dan dalam
catatan itu hanya ada amanat cerita, itu pun dalam jumlah yang sedikit (hal.
6).
Murakami juga menghadirkan
sosok Nezumi, teman karib Aku, yang berniat untuk menulis sebuah novel, namun
ia telah lama tidak pernah lagi membaca buku. Fenomena Nezumi ini bertentangan
dengan pahaman umum bahwa ‘banyak membaca buku, maka kita akan kaya bahan dalam
menulis’. Doxa pembacaan buku yang
banyak memang dibutuhkan, terlebih jika yang ingin ditulis adalah novel. Untuk
babak ini, saya nilai dikontra-doxa-kan
juga oleh Murakami. Doxa ini, akhirnya, menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa,
dalam hal ini kemampuan literasi, benar-benar tidak hanya pelatihan biasa.
Untuk kemampuan literasi (berbahasa) dibutuhkan fasilitas, dalam hal ini buku
bacaan yang seringkali harus dibeli, dan pembelian ini tentu membutuhkan
kapital (Haryatmoko, 2010: 164).
Murakami yang semula
saya nilai (klaim) sebagai penghadir fenomena-fenomena yang kontra-doxa, harus saya batasi dengan tegas,
bahwa ia sebenarnya tidak sedang melakukan resistensi terhadap doxa. Menurut saya, berbeda atau
bertentangan dengan doxa belum tentu berarti seseorang sedang melakukan
resistensi. Begitu juga pada Murakami. Resistensi ini memang terlihat tidak dilakukan oleh Murakami,
karena bagaimana pun ia menghadirkan fenomena-fenomena kepenulisan Si Aku dan
Nezumi yang kontra-doxa, toh Murakami
tetap menghadirkan Aku yang menyukai membaca buku, terlebih buku terjemahan
sastrawan-sastrawan dunia yang fenomena tersebut sesuai dengan doxa. Nezumi pun belakangan mengikuti
habitus membaca buku Si Aku, pasca pelontaran niatnya untuk menulis novel, dan
diskusi mereka yang melahirkan kritik terkait alur dan cerita novel Nezumi.
Penghadiran babak
habitus membaca buku Si Aku dan tersebut
sebenarnya memang merupakan kebertentangan dengan klaim saya semula, bahwa
Murakami kontra-doxa. Oleh karena
itu, tepatlah penilaian saya bahwa Murakami memang tidak melakukan resitensi
terhadap doxa. Resistensi atas doxa di luar ranah kepenulisan yang
tidak dilakukan Murakami, toh terlihat pada penghadiran produk-produk asing,
baik makanan, musik, film, sampai ‘habitus’ (gaya hidup). Oleh karena itu, sekali
lagi, saya tegaskan penilaian saya, bahwa Murakami hanya menghadirkan kontra-doxa, tidak melakukan resistensi atau
menolak semua doxa yang bernilai
kekerasan simbolik versi Bourdieu.
Akan tetapi, usaha
Murakami untuk menghabituasi literasi, terlepas dari penurut doxa-kah atau kontra dan resistensi-doxa-kah Murakami, seperti yang saya
klaim sebelumnya, harus disaluti.
Kekerasan simbolik ala Bourdieu yang hadir dalam tampakan atas relasi bahasa dan kekuasaan Murakami
melalui kosa kata dan diskursusnya, terlihat dari upayanya melakukan dominasi terselubung atas
habitus literasi masyarakat. Murakami, menurut interpretasi saya, menghadirkan
Derek Heartfield, penulis yang karya-karya literasinya dinilai berplot
berantakan, kalimat yang susah dipahami, dan tema yang dadais, adalah usaha Murakami untuk menenangkan para
pengusaha karya literasi untuk tidak pesimis atas tulisannya. Dominasi atau
habituasi literasi oleh Murakami juga terlihat dari penghadiran habitus baca
buku atau perbincangan mengenai buku dalam beberapa kali. Hal ini, menurut
saya, adalah wujud upaya dominasi doktrinal yang bertujuan untuk habituasi.
Kekerasan simbolik, dominasi, atau habituasi doktrinal ini terlihat misalnya
pada babak:
“Bagiku, menulis
kalimat adalah pekerjaan yang menyakitkan. Aku pernah tidak menulis sebaris
kalimat pun dalam sebulan. Pernah pula
aku menulis tida hari tiga malam berturut-turut, tapi akhirnya semua
kalimat itu ngawur... Menulis juga menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Karena
membubuhkan makna pada semua kalimat terasa lebih mudah jika dibandingkan
dengan kesulitan hidup... Seandainya bersikap pintar sedikit saja, dunia bisa
kuatur sesukaku, segala macam nilai akan berubah, dan waktu pun akan mengganti
alirannya... (hal. 5)”
Penghadiran kalimat-kalimat
doktrinal juga terlihat pada kalimat “Selama punya sikap untuk mau belajar dari
berebagai hal, maka menjadi tua tentu tidak akan begitu terasa menyakitkan
(hal. 1).“ Kalimat ini dihadirkan ketika
Murakami mengisahkan tokoh Aku yang selalu dilanda keputusasaan setiap akan
menulis sesuatu. Keputusasaan Aku selama delapan tahun, yang hadir karena
setiap menulis, ia hanya bisa menuliskan ruang lingkup yang terbatas. Kalimat
doktrinal lainnya juga hadir dengan kutipan atas kalimat seorang penulis,
“Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti keputusasaan yang sempurna.”
Kalimat-kalimt tersebut saya klaim sebagai upaya dominasi, habituasi, atau
kekerasan simbolik Murakami atas habitus literasi, agar seluruh manusia,
terkhusus pembaca karyanya, dapat membangun tradisi literasi.
Murakami juga berhasil
menghadirkan bukti bahwa setidaknya, satu buku yang pernah dibaca bisa menjadi
landasan kita untuk menulis. Hal ini terlihat pada babak yang mengisahkan
diskusi Aku dan Nezumi tentang bacaan mereka yang membuat Nezumi berniat untuk
menulis novel. Meski babak ini harus saya akui kembali membantah pernyataan
saya sebelumnya, tapi, kedua pernyataan saya atau klaim saya ini, saya pikir
kedua-duanya tepat. Satu sisi, Murakami menghadirkan babak ini untuk
menunjukkan bahwa kita memang harus membaca sebagai dasar atau landasan, di
sisi lain, Murakami juga menunjukkan bahwa untuk memulai, tidak membaca banyak
buku pun bisa menjadi ‘legalitas’ untuk menulis.
Alhasil, dari
perbincangan Aku dan Nezumi tentang alasan membaca buku dan diskusi-kritis atas
cerita novel, Nezumi akhirnya menjadi seorang penulis novel yang aktif. Ini
dikisahkan pada bagian akhir. Babak ini semakin meyakinkan saya bahwa Murakami
memang berupaya memertahankan penulis-penulis yang selalu merasa gagal agar
tetap menulis, meski awalnya, ia jarang membaca atau sedikit membaca buku, atau
telah lama meninggalkan kebiasaan membaca buku.
Intinya, saya berpikir
bahwa sebenarnya yang dihadirkan oleh Murakami adalah pengabaian doxa (kontra-doxa) untuk sementara, yang nantinya akan membawa penulis dan
karyanya menjadi sesuai doxa. Hal
ini, sekali lagi, saya nilai sebagai upaya penyelamatan Murakami atas para
penulis yang selalu dihantui oleh ketakutan pada doxa. Doxa atas bahasa, doxa atas tulisan. Ini wajar, hukum yang sepertinya sudah pasti
bahwa keterampilan itu lahir dari pembiasaan. Hasil yang baik tidak lahir dari
usaha yang terhenti karena takut dan putus asa. Begitu kira-kira, atau begitu
kan sebenarnya? Doxa!
*Disajikan pada Forum Diskusi Komunitas Taman Pustaka (KTP)
Membaca tulisan ini, sangat menakjubkan dengan tokoh yang di hadirkan oleh Haruki Murakami.
BalasHapus