Dengarlah Nyanyian Angin, ‘Doxa-is’ Murakami Sempat Berkontra-Doxa!*


Oleh: Zulfikar Hafid
Bahasa  yang tidak bebas atas klaim ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’, ‘indah’ dan  ‘tidak indah’, serta ‘ilmiah’ dan ‘tidak ilmiah’, terlanjur menjadi doxa di masyarakat. Bahasa berupa rangkaian kalimat atau wacana (teks), akhirnya, ada yang diterima gagasannya, ada juga yang tidak berpengaruh sama sekali. Klaim-klaim ini didasarkan pada standar ketetapan masyarakat, yang standar ini seolah-olah telah disepakati secara sadar oleh seluruh pihak. Demikianlah Doxa,  keberlakuan sudut pandang pihak dominan, sementara sudut pandang ini seakan-akan merupakan sudut pandang universal yang disadari (Haryatmoko, 2010: 163).

Doxa dan kontra-doxa dalam bahasa dan kepenulisan dihadirkan oleh Haruki Murakami. Hal ini saya simpulkan dari interpretasi saya sebagai pembaca atas novel pertamanya, Dengarlah Nyanyian Angin (2013) yang pertama kali diterbitkan pada tahun  1979. Dalam novel ini, atau setidaknya hanya pada novel ini, Murakami berusaha menenangkan para penulis yang dalam keberlangsungan kegiatan menulisanya sangat dekat dengan keputusasaan. Keputusasaan karena tulisan-tulisan yang dihadirkannya jauh dari penilaiaan baik dan keputusasaan karena kata hingga paragraf yang dituliskannya jauh dari doxa bahasa yang berlaku. Upaya penenangan oleh Murakami ini, saya nilai sebagai tindakan kontra-doxa.
Kontra-doxa yang dihadirkan oleh Murakami sebagai upaya penenangan tersebut, menurut saya, salah satunya terlihat pada pengangkatan keterobsesian sosok Aku pada penulis Amerika yang karya-karyanya dianggap tidak sampai pada doxa sebuah karya tulis-baik oleh khalayak. Dialah Derek Heartfield, Penulis Amerika yang karyanya selalu dinilai biasa-biasa saja, bahkan dinilai  buruk (hal. 2). Murakami juga menghadirkan Aku sebagai sosok yang ingin sekali menjadi penulis-sesuai doxa, namun selalu ‘terasa’ gagal.  Selain itu, kontra-doxa juga terlihat pada penghadiran upaya Aku untuk menjadi penulis sesuai-doxa, namun Si Aku hanya membuat sebuah catatan berjilid dengan garis tengah di tengah-tengah halamannya, dan  dalam catatan itu hanya ada amanat cerita, itu pun dalam jumlah yang sedikit (hal. 6).   
Murakami juga menghadirkan sosok Nezumi, teman karib Aku, yang berniat untuk menulis sebuah novel, namun ia telah lama tidak pernah lagi membaca buku. Fenomena Nezumi ini bertentangan dengan pahaman umum bahwa ‘banyak membaca buku, maka kita akan kaya bahan dalam menulis’. Doxa pembacaan buku yang banyak memang dibutuhkan, terlebih jika yang ingin ditulis adalah novel. Untuk babak ini, saya nilai dikontra-doxa-kan juga oleh Murakami. Doxa ini, akhirnya, menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa, dalam hal ini kemampuan literasi, benar-benar tidak hanya pelatihan biasa. Untuk kemampuan literasi (berbahasa) dibutuhkan fasilitas, dalam hal ini buku bacaan yang seringkali harus dibeli, dan pembelian ini tentu membutuhkan kapital (Haryatmoko, 2010: 164).  
Murakami yang semula saya nilai (klaim) sebagai penghadir fenomena-fenomena yang kontra-doxa, harus saya batasi dengan tegas, bahwa ia sebenarnya tidak sedang melakukan resistensi terhadap doxa. Menurut saya, berbeda atau bertentangan dengan doxa belum tentu berarti seseorang sedang melakukan resistensi. Begitu juga pada Murakami. Resistensi ini  memang terlihat tidak dilakukan oleh Murakami, karena bagaimana pun ia menghadirkan fenomena-fenomena kepenulisan Si Aku dan Nezumi yang kontra-doxa, toh Murakami tetap menghadirkan Aku yang menyukai membaca buku, terlebih buku terjemahan sastrawan-sastrawan dunia yang fenomena tersebut sesuai dengan doxa. Nezumi pun belakangan mengikuti habitus membaca buku Si Aku, pasca pelontaran niatnya untuk menulis novel, dan diskusi mereka yang melahirkan kritik terkait alur dan cerita novel Nezumi.
Penghadiran babak habitus membaca buku Si Aku dan  tersebut sebenarnya memang merupakan kebertentangan dengan klaim saya semula, bahwa Murakami kontra-doxa. Oleh karena itu, tepatlah penilaian saya bahwa Murakami memang tidak melakukan resitensi terhadap doxa. Resistensi atas doxa di luar ranah kepenulisan yang tidak dilakukan Murakami, toh terlihat pada penghadiran produk-produk asing, baik makanan, musik, film, sampai ‘habitus’ (gaya hidup). Oleh karena itu, sekali lagi, saya tegaskan penilaian saya, bahwa Murakami hanya menghadirkan kontra-doxa, tidak melakukan resistensi atau menolak semua doxa yang bernilai kekerasan simbolik versi Bourdieu.
Akan tetapi, usaha Murakami untuk menghabituasi literasi, terlepas dari penurut doxa-kah atau kontra dan resistensi-doxa­-kah Murakami, seperti yang saya klaim sebelumnya,  harus disaluti. Kekerasan simbolik ala Bourdieu yang hadir dalam tampakan  atas relasi bahasa dan kekuasaan Murakami melalui kosa kata dan diskursusnya, terlihat dari  upayanya melakukan dominasi terselubung atas habitus literasi masyarakat. Murakami, menurut interpretasi saya, menghadirkan Derek Heartfield, penulis yang karya-karya literasinya dinilai berplot berantakan, kalimat yang susah dipahami, dan tema yang dadais,   adalah usaha Murakami untuk menenangkan para pengusaha karya literasi untuk tidak pesimis atas tulisannya. Dominasi atau habituasi literasi oleh Murakami juga terlihat dari penghadiran habitus baca buku atau perbincangan mengenai buku dalam beberapa kali. Hal ini, menurut saya, adalah wujud upaya dominasi doktrinal yang bertujuan untuk habituasi. Kekerasan simbolik, dominasi, atau habituasi doktrinal ini terlihat misalnya pada babak:

“Bagiku, menulis kalimat adalah pekerjaan yang menyakitkan. Aku pernah tidak menulis sebaris kalimat pun dalam sebulan. Pernah pula  aku menulis tida hari tiga malam berturut-turut, tapi akhirnya semua kalimat itu ngawur... Menulis juga menjadi pekerjaan yang menyenangkan. Karena membubuhkan makna pada semua kalimat terasa lebih mudah jika dibandingkan dengan kesulitan hidup... Seandainya bersikap pintar sedikit saja, dunia bisa kuatur sesukaku, segala macam nilai akan berubah, dan waktu pun akan mengganti alirannya... (hal. 5)”

Penghadiran kalimat-kalimat doktrinal juga terlihat pada kalimat “Selama punya sikap untuk mau belajar dari berebagai hal, maka menjadi tua tentu tidak akan begitu terasa menyakitkan (hal. 1).“  Kalimat ini dihadirkan ketika Murakami mengisahkan tokoh Aku yang selalu dilanda keputusasaan setiap akan menulis sesuatu. Keputusasaan Aku selama delapan tahun, yang hadir karena setiap menulis, ia hanya bisa menuliskan ruang lingkup yang terbatas. Kalimat doktrinal lainnya juga hadir dengan kutipan atas kalimat seorang penulis, “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti keputusasaan yang sempurna.” Kalimat-kalimt tersebut saya klaim sebagai upaya dominasi, habituasi, atau kekerasan simbolik Murakami atas habitus literasi, agar seluruh manusia, terkhusus pembaca karyanya, dapat membangun tradisi literasi.  
Murakami juga berhasil menghadirkan bukti bahwa setidaknya, satu buku yang pernah dibaca bisa menjadi landasan kita untuk menulis. Hal ini terlihat pada babak yang mengisahkan diskusi Aku dan Nezumi tentang bacaan mereka yang membuat Nezumi berniat untuk menulis novel. Meski babak ini harus saya akui kembali membantah pernyataan saya sebelumnya, tapi, kedua pernyataan saya atau klaim saya ini, saya pikir kedua-duanya tepat. Satu sisi, Murakami menghadirkan babak ini untuk menunjukkan bahwa kita memang harus membaca sebagai dasar atau landasan, di sisi lain, Murakami juga menunjukkan bahwa untuk memulai, tidak membaca banyak buku pun bisa menjadi ‘legalitas’ untuk menulis.
Alhasil, dari perbincangan Aku dan Nezumi tentang alasan membaca buku dan diskusi-kritis atas cerita novel, Nezumi akhirnya menjadi seorang penulis novel yang aktif. Ini dikisahkan pada bagian akhir. Babak ini semakin meyakinkan saya bahwa Murakami memang berupaya memertahankan penulis-penulis yang selalu merasa gagal agar tetap menulis, meski awalnya, ia jarang membaca atau sedikit membaca buku, atau telah lama meninggalkan kebiasaan membaca buku.
Intinya, saya berpikir bahwa sebenarnya yang dihadirkan oleh Murakami adalah pengabaian doxa (kontra-doxa) untuk sementara, yang nantinya akan membawa penulis dan karyanya menjadi sesuai doxa. Hal ini, sekali lagi, saya nilai sebagai upaya penyelamatan Murakami atas para penulis yang selalu dihantui oleh ketakutan pada doxa. Doxa atas bahasa, doxa atas tulisan. Ini wajar, hukum yang sepertinya sudah pasti bahwa keterampilan itu lahir dari pembiasaan. Hasil yang baik tidak lahir dari usaha yang terhenti karena takut dan putus asa. Begitu kira-kira, atau begitu kan sebenarnya? Doxa!
 *Disajikan pada Forum Diskusi Komunitas Taman Pustaka (KTP)

1 komentar:

  1. Membaca tulisan ini, sangat menakjubkan dengan tokoh yang di hadirkan oleh Haruki Murakami.

    BalasHapus


Top