Islam Berkemajuan sebagai Ideologi Terbuka

Muhammad Asratillah
(Anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan PW Muhammadiyah Sulsel)


PANDANGAN mengenai Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berkemajuan sudah muncul sejak awal-awal dari pendirian Muhammadiyah. Idiom “kemajuan”, “ memajukan “, “maju” dan “berkemajuan” telah diperkenalkan oleh founding fathers Muhammadiyah. “Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja” bunyi pernyataan dalam statue pertamakali tahun 1912, dan dalam edisi awal Suwara Muhammadijah yang di tulis dalam bahasa Jawa diungkapkan “Karena menurut tuntunan agama kita Islam, serta sesuai dengan kemauan zaman kemajuan”.

Karakter Islam yang berkemajuan ini dipertegas dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua pada Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010 yang menyatakan “ Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi”.

Pandangan Islam yang berkemajuan merupakan ideology Muhammadiyah, berkali-kali dipertegas oleh salah satu unsur ketua dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu Dr.H. Haedar Nashir, M.Si.. Pada tulisan kali ini penulis berusaha membahas mengenai karakter ideology dari ideology Muhammadiyah : Islam berkemajuan. Sebab pengertian atau definisi dari kata ideology tidaklah homogen, tetapi merentang dari definisi yang sifatnya peyoratif hingga yang sifatnya netral.

John Storey mengikhtisarkan heterogenitas konsep ideologi secara padat dalam bukunya yang berjudul “An Introduction Guide to Cultural Theory and Popular Culture”. Dalam buku tersebut John Storey mengulas lima konsep Ideologi yaitu: Pertama. Ideologi merupakan pelembagaan seperangkat gagasan, nilai, pandangan hidup secara sistematis yang kemudian diartikulasikan oleh kelompok tertentu. Kedua. Ideologi merupakan penopengan terhadap realitas. Disini ideologi digambarkan sebagai alat untuk menyeleksi teks-teks serta praktik-praktik budaya tertentu, untuk menghadirkan citra-citra atau repsentasi-representasi mengenai realitas yang telah diistorsi, diselewengkan untuk mempertahankan status quo. Ketiga. Konsep ideologi yang erat kaitannya dengan hingar bingar, hiruk pikuk dan pesona Pop Culture. Ini terkait dengan konsep kedua dari ideologi sebelumnya. Keempat. Konsep ideologi yang bukan hanya berkaitan dengan kesadaran ma¬nusia, yang melahirkan “kesadaran palsu”, tetapi ideology juga sesuatu yang berkaitan dengan tindakan dan proses-proses material serta birokrasi. Gagasan ini dikemukakan oleh salah seorang pemikir Perancis yang bernama Louis Althusser. Menurut Althusser ideology merasuk hingga ke ritual-ritual keseharian kita, semisal ritual sekolah yang tidak partisipatif, ritual birokrasi kita yang seperti mesin. Kelima. Konsep ideologi yang dikemukakan oleh semiolog Perancis, Rolan Barthes. Ideologi (mitos dalam istilah Barthes) adalah sesuatu yang mengarahkan kita untuk membatasi konotasi atau makna secara hegemonik.
Lalu di antara kelima konsep ideology yang di ulas oleh John Storey di atas, mana yang cocok dengan karakter Ideologi Muhammadiyah? Menurut penulis konsep pertama bisa digunakan dalam mempersepsi Ideologi Muhammadiyah yaitu Islam Berkemajuan.

Tetapi keterhubungan konsep ideology yang pertama menurut John Storey di atas dengan Ideologi Muhammadiyah, haruslah disertai dengan catatan. Karena salah satu karakter dari ideology yang merupakan pelembagaan gagasan-gagasan tertentu adalah totalitas dan statis, dan jika totalitas dan ke-statis-an menjangkiti Ideologi Muhammadiyah, maka akan mengalami kontradiksi diri Muhammadiyah jangan sampai menjadi produsen “kesadaran palsu” bagi umat, Muhammadiyah jangan sampai takut menganalisa, mengungkap beberapa ketimpangan-ketimpangan sosial yang mengitari rakyat kecil hanya demi menyenangkan penguasa. Muhammadiyah seharusnya menjadi garda terdepan dalam melakukan penyadaran bagi kaum yang lemah, agar mereka sadar akan hak-haknya dan mengetahui bagaimana cara yang ihsan untuk memperoleh hak-haknya.

Muhammadiyah membutuhkan, bukan sekedar citra yang besar tetapi tindakan-tindakan besar, terobosan-terobosan yang luar biasa, pemihakan yang nyata terhadap kaum mustdafhin. Bukan sekedar organisasi yang pan¬dai mengklaim diri sebagai organisasi yang progresif tanpa bukti nyata tentang progresifitas dalam hal pikiran dan tindakan.

Birokrasi organisasi tidak akan lepas dari ritual-ritual birokrasi organisasi, tetapi birokrasi itu seperti pisau bermata dua, di satu sisi dia mampu mengkoordinir segala rupa sumber daya dalam organisasi tetapi disetu sisi dia bisa menjadi semacam “lubang hitam” yang menghisap dan menguras segala per-hatian, waktu dan energi kita.

Muhammadiyah harus bertanya pada dirinya ditengah-tengah hiruk-pikuk ritual-ritual birokrasi organisasi Muhammdiyah, seberapa besar dirinya telah berkontribusi bagi penghilangan diskriminasi perempuan?, seberapa besar energi yang dikeluarkan untuk melawan terorisme? Seberapa banyak perhatian yang diberikan untuk mema¬yungi kemajemukan? Dan seberapa berani dan lantang suaranya dalam menentang pengrusakan lingkungan, korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan.

Yang paling penting adalah watak hegemonik harus jauh dari Muhammadiyah. Muhammadiyah jangan sampai menjadi momok yang selalu mau serakah akan pemaknaan. Muhammadiyah harus menjadi ormas yang paling gencar mendifusikan budaya dialog. Tapi sebelumnya budaya dialog harus tumbuh subur kalangan internal Muhammadiyah dan harus menjadi tauladan yang selalu mengutamakan dialog saat berinterkasi dengan yang lain. Saya yakin Muham¬madiyah adalah organisasi yang besar yang memiliki peluang besar untuk mel¬akukan tindakan-tindakan besar bagi Islam, Indonesia dan Umat Manusia. (*)

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top