Secangkir Kopi Menuju Mimbar



Awalnya hanya sekadar ngumpul, bersenda gurau, nongkrong dan cerita lepas. Karena menjadi sebuah rutinitas, ide pun lahir. Kebiasaaan menuai berkah, dengan modal pertemuan rutin setiap malam jumat. Anak-anak muda pecinta kopi ini belakangan terlihat bukan lagi hanya di Warung Kopi, tapi meraka sudah di atas mimbar, ya sebagai Mubalig Muhammadiyah.

Kopi itu hitam, rasanya pahit. Mungkin bagi sebagian orang hitam dan pahit ini identik dengan kekerasan. Tetapi hal tersebut tidak bagi Majelis Tabligh Muhammadiyah Kabupaten Wajo.

Mereka berpandangan lain. Baginya kopi adalah spirit. Sekalipun hitam dan pahit, katanya disadari atau tidak,  tak sedikit dari masalah-masalah besar bangsa ini terselesaikan dengan secangkir kopi. Persoalan sosial, budaya, politik, hukum dan termasuk krisis mubalig yang tengah melanda Muhammadiyah di Wajo adalah salah satunya.

Tradisi ngopi ini memang sejak tahun 2012 lalu telah dibangun oleh Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) Muhammadiyah Wajo. Disebabkan oleh keresahan melihat semakin kurangnya mubalig Muhammadiyah di Kota Sutera ini. Masjid-masjid Muhammadiyah tidak terisi secara rutin pada kegiatan khotbah jumat maupun bentuk tablig lain.

Intensif melakukan pertemuan, akhirnya dibentuk sebagai sebuah komunitas. Komunitas ini diberikan nama Wajo Tabligh Club (WTC). Sekilas mirip Indonesia Lawyers Club (ILC). Tetapi secara orientasi  berbeda, karena fokus WTC adalah tablig.

“Dengan model pengajian dialogis ala warkop dan atas dasar semangat tajdid Muhammadiyah, kita tidak boleh selamanya hanya pengajian di masjid. Coba keluar, membawa suasana masjid ke warkop misalnya. Itu tidak salah, yang salah kalau sebaliknya,” urai Koordinator Komunitas Secangkir Kopi, Sulaiman Nyampa.

Semenjak komunitas ini aktif berkelana tiap pekannya, tercatat sudah ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang tergabung dalam komunitas tersebut. “Kami membangun kesepakatan dan keberanian untuk naik mimbar. Awalnya memang hanyalah sebagai pengganti, tetapi seiring berjalan waktu, selama dua tahun terakhir, akhirnya kami dapat diberikan jadwal sendiri,” tandas  Sekretaris MTDK PDM Wajo ini.

Landasan lain, mereka ingin memperlihatkan Sengkang sebagai Kota Santri yang sesungguhnya. “Barometer kota santri selama ini adalah ramainya masjid dengan pengajian. Tapi kita melihat itu bukan barometer karena apa bedanya dengan daerah lain kalau hanya itu barometernya. Kota santri bagi kami adalah ketika tradisi di masjid tersebut juga terbudayakan keluar, di semua tempat. Misi kita  menjadikan Sengkang kota santri secara berkesinambungan,” jelas Alumni UIN Alauddin Makassar ini

Selain pertemuan rutin internal, ada pengajian terbuka di warkop. Menghadirkan tokoh dan mengundang semua kalangan termasuk ormas-ormas di luar Muhammadiyah seperti Assaddiyah, Hidayatullah, BKPRMI, KNPI, Karang Taruna, serta yang lain. Spiritnya adalah menjadi pemersatu di tengah perbedaan.

“Ramadhan lalu, kami intensif setiap malam mengadakan malam dialogis ramadhan. Menjemput lailatul qadhar bukan menunggu seperti kebanyakan yang lain,” kata Sulaiman.

Prinsip komunitas secangkir kopi adalah inisiatif, selalu ada ide untuk mengahadirkan hal-hal baru. “Target ke depan adalah menghadirkan tokoh di Wajo, berbagi spirit bersama kami. Niat dan rencana kami adalah menghadirkan Ketua PP Muhammadiyah, Bapak Din Syamsuddin di Wajo,” tambahnya lagi dengan nada canda penuh harap.

Tercatat  Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir pernah sekali  menyambangi kelompok anak muda ini.  Dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, secara rutin aktif hadir Prof. Dr. Arifuddin Ahmad, Prof. Dr. Ambo Asse, dan Prof. Dr. Ali Parman, MA serta Dr. Mustari Bosra memberikan pengajian. (Kasri).

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top