PRO-KONTRA HUKUM BPJS

Hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diterapkan pemerintah Republik Indonesia sejak 1 januari 2014 lalu masih menjadi polemik. BPJS dianggap tidak ada bedanya dengan sistem asuransi. Sedangkan, sistem asuransi sendiri menurut mubalig, Sudirman, S. Ag., adalah sesuatu yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama. 

“Kalau BPJS adalah bagian dari menabung, bisa saja, boleh tetapi ini kan asuransi. Bagi saya yang namanya sistem asuransi tidaklah syar'i, kenapa? Sebagai contoh saya membayar 1 bulan misalnya dan lantas saya tidak pergunakan, maka itu berarti akad tidak tercapai. Tidak tercapainya akad itulah yang dimaksud tidak syar'i,” jelasnya.

Diuraikannya, bahwa dalam satu akad tidak bisa bermakna ganda. “Jadi misal kita simpan 50 ribu dan tidak digunakan. Lantas simpanan tersebut akan lari kemana, tentunya lari ke perusahaan, jadinya yang dapat untung adalah perusahaan,” jelas Bendahara Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Makassar ini.

Akan tetapi sekalipun bagi Sudirman, BPJS itu adalah sistem untung-untungan atau sistem spekulasi. Dia tetap berharap BPJS ini diperjelas dan diperbaiki manajemennya. "Perbaiki akadnya kalau memang tujuannya adalah untuk kemaslahatan bersama, ” harapnya.

Terkait hal ini, Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Divisi Regional Sulawesi Selatan, Adi Siswadi, mengakui bahwa pola Jaminan Kesehatan Nasional ini memang tidak bisa dipungkiri berbasis kepada kegiatan asuransi. Namun, Ia menekankan bahwa salah satu asas atau prinsip yang ditekankan oleh pemerintah dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah prnsip gotong royong. Ia meyakinkan bahwa tidak ada niatan sama sekali untuk membuat BPJS ini menjadi sistem yang melanggar syariat. Jika meninjau ayat yang menyatakan bahwa segala perbuatan itu bergantung niat, maka niat penerapan sistem ini adalah kebaikan. ”Mungkin dinggap tidak syariah karena prosesnya yang mirip gambling atau perjudian. Kita bayar hari ini Rp.25.000, eh besok kita sakit, kita dapat jaminan 5 sampai 10 juta. Uang dari mana? Tapi siapa sih yang mau memperjudikan kesehatan? Saya kira gak ada,” ungkap Adi.

Asas gotong royong adalah prinsip yang ditekankan untuk pelaksanaan sistem jaminan kesehtan oleh BPJS. Gotong royong itu terlihat pada subsidi silang antara orang sehat yang mebiayai orang miskin dengan iurannya, dan antara orang mampu dengan orang yang tidak mampu. “Ini kan kerjasama, gotong royong. Bukankah agama memerintahkan kita untuk tolong-menolong dalam kebaikan? Ini kerja sama dalam pembiayaan kesehatan,” ungkap Adi. 

Lebih lanjut, Adi menjelaskan bahwa berbicara soal kesehatan itu bicara tentang hukum bilangan besar. Semakin besar masyarakat, maka resiko distribusi penyebaran penyakit di masyarakat juga semakin besar. Ditambah lagi penyakit itu resiko yang tidak bisa diprediksi. Kalau masyarakat sudah punya asuransi sebelumnya, menurut Adi, pembiayaan kesahatan akan lebih ringan. “Saya sih berpendapat begitu, terlepas dari hukum agama ya, karena memang bukan keahlian saya,” tanggap Adi.

Sementara itu pandangan berbeda diungkapkan Dr. Abdillah Mustari, dia mengatakan bahwa secara umum kita justru patut mengapresiasi pemerintah atau ulil amri yang telah menerapkan program kesejahteraan masyarakat melalui program BJPS, baik BJPS Kesehatan maupuan BJPS Ketenagakerjaan. “Ini merupakan langkah bagus, BPJS ini tidak perlu lagi digiring ke dalam persoalan apakah itu halal atau haram,” tuturnya.

Baginya, meskipun BPJS menganut sistem transaksi asuransi tidak bisa juga dikatakan haram, karena
muaranya adalah asas tolong menolong. “Jadi program BPJS sekalipun dianggap menganut sistem asuransi, intinya mendatangkan kemaslahatan,” tegas Dosen UIN Alauddin Makassar ini.

Menurutnya, asuransi sendiri juga tidak pernah diungkap secara jelas dalam Al Qur'an karena merupakan produk baru dalam bermuamalah. “Muamalah dibangun atas beberapa unsur, pertama, bermuatan ibadah, kedua, suka sama suka, ketiga dilakukan secara jujur. Bilamana salah satu dari unsur tersebut ditinggalkan barulah bisa dikatakan riba atau tidak syar'i. BPJS bagi saya masih memenuhi itu” urainya. Ia juga mencontohkan, dirinya sebagai PNS, kewajibannya adalah mengeluarkan pembayaran untuk BPJS, akan tetapi dengan itu haknya tetap juga akan terpenuhi. Jadi BPJS ini konteksnya bersifat protektor, sebagai proteksi terhadap kemungkinan ke depan. “Bisa saja sekarang kita punya uang dan tidak sakit akan tetapi ke depan bagaimana? Kan tidak ada yang tahu, sehingga dari sini bisa dikatakan bahwa BPJS itu juga bersifat sebagai nvestasi,“ kata Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sulsel ini.

Terkait dengan anggapan BPJS untung-untungan, Abdillah berpandangan bahwa prinsip yang perlu untuk ditanamkan adalah tabarru, meski kita tidak merasakan langsung, akan tetapi manfaatnya tetap akan dapat dirasakan orang lain, jadi sifatnya tolong menolong bagi mereka yang kurang beruntung. (Kasri)

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top