MARHAENIS MUHAMMADIYAH: Ajaran dan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Penulis :Abdul Munir Mulkhan
ISBN: 9786029431278
Oktober 2013
Penerbit: Galang Pustaka
Ukuran: 15 x 23 cm
Halaman: 323

Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan” adalah hasil penelitian Abdul Munir Mulkhan terhadap petani di Wuluhan, Jember, Jawa Timur yang kemudian menjadi pengikut Muhammadiyah. Mereka yang sebagian besar adalah kaum abangan yang banyak terlibat aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI) tertarik dengan praktek keberagamaan  dan kehidupan sosial Muhammadiyah. Menariknya, tradisi sosial – budaya masyarakat abangan itu tidak hilang, tetapi justru memunculkan corak dan makna keberagamaan baru dan mereka menjadi pengikut Muhammadiyah. Selanjutnya, mereka kemudian diberi sebutan Marmud atau Marhaenis Muhammadiyah.
Marmud adalah salah satu kelompok islam dalam Muhammadiyah yang mengintegrasikan atau menginternalisasi hukum atau doktrin syariah kedalam tradisi singkretik kehidupan mereka. Selain kelompok di atas, ada juga yang disebut Muhammadiyah Ikhlas, yakni reprentasi islam murni yang fundamentalis. Mereka menganggap tarjih adalah produk paling ideal memuat hukum-hukum islam dan bekerja adalah kewajiban agama (amaliah). Kelompok kedua adalah Muhammadiyah Kiai Dahlan, yaitu orang – orang yang juga menjalankan keberagamaan sesuai tuntutan tarjih dan cukup toleran terhadap TBC. Mereka sebagian besar adalah pegawai pemerintah dan termasuk pendukung partai golkar. Kehidupan mereka relative lebih mapan dibandingkan dengan kelompok ikhlas. Kelompok ketiga adalah Muhammadiyah Neotradisionalis atau Munu (Muhammadiyah NU) yang mayoritas petani. Kelompok ini secara umum masih memelihara praktik TBC dalam kehidupan sehari – hari. Bagi kelompok ini, tuhan lebih kompromis, pendengar dan penerima do’a. Mereka menganggap ‘orang saleh’ dalam lembaga tampak lebih magis, yaitu penyambung kepada tuhan. Kelompok ini masih sering melakukan slametan dan tahlilan. Sebutan dari masing – masing kelompok itu merupakan kategorisasi dari yang puritan skriptualis, substansial, neotradisionalis, dan neosinkretis.
Selain pembagian empat jenis orang MD di atas, buku ini juga merekam jejak ajaran dan pemikiran ‘’spiritualisme ‘hati suci’’ K.H. Ahmad Dahlan yang sangat toleran, tetapi dibelokkan oleh para elit (Muhammadiyah) yang didominasi oleh ahli syariah. Mereka ingin memusnahkan TBC (tahyul, bid’ah, dan khurafat) sampai pada akarnya, bahkan dengan cara-cara kekerasan sekalipun demi tegaknya syariah. Maka Muhammadiyah pernah menjadi buldooser kebudayaan.
Sangat berbeda dengan pola pemurnian islam yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan yang mengedepankan kesalehan spiritual, yang kemudian melahirkan ragam model kebermuhammadiyahan. Bagi kaum tani, menjadi Muhammadiyah akan memiliki arti sesuai makna dunia magis, bukan etis. Upacara Ritual TBC, diubah maknanya sebagai tradisi dan media berbakti kepada ‘orang tua’ atau membangun jaringan dakwah. TBC tidak serta merta ditolak, tetapi Islam murni dipribumisasi, sehingga taklid, slametan kematian, dan tahlilan merupakan gejala umum yang dianut gerakan ini.
Ada dua hal yang mungkin tak ditangkap buku ini, pertama adalah apa yang telah dilakukan para petani di Wuluhan juga mengandung spirit tajdid yang cukup revolusioner. Mengintegrasikan antara ajaran agama dan kultur yang berkembang di masyarakat demi kepentingan bersama. Kedua adalah bahwa di daerah lain kemungkinan besar juga terjadi hal demikian, banyaknya masyarakat yang bergabung ke Muhammadiyah dengan ragam kepentingan, entah itu kepentingan politik praktis ataupun hal- hal yang bersifat pragmatis. (Sahrul)

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top