KORUPTOR, Dimana Rasa Malumu?

Opini

Oleh : Nur Faizah Anshar

Korupsi, sebuah kata yang tentu tak asing lagi bagi kita. Di semua pemberitaan baik media elektronik maupun cetak dia senantiasa hadir mewarnai wacana publik. Korupsi menjadi begitu akrab ditelinga semua orang.  Pejabat dari tingkat kelurahan sampai tingkat menteri telah banyak yang terlibat korupsi. Pertanyaan muncul kemudian dalam benak kita, insan yang merasa berakal sehat,  bertanya dimana rasa malu para sang koruptor?

Hilangnya rasa malu, hilangnya harga diri, hilangnya kehidupan? Keserakahan telah menenggelamkan rasa malu  para koruptor. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan “Semua para koruptor itu telah memiliki gaji dan harta  yang cukup banyak, tetapi kenapa mereka masih juga melakukan korupsi? Jawabnya hanya satu “KESERAKAHAN”.

Lihatlah dilayar  TV  ketika Sang koruptor  ditangkap oleh KPK dengan percaya diri dan senyum yang lebar penuh bahagia  tanpa beban  menjawab pertanyaan para wartawan. Sekilas kita berpikir jika  korupsi itu hal yang  biasa saja, karena para sang koruptor masih bisa tersenyum meski telah mencuri uang rakyat. Masihkah kita  bisa berharap koruptor akan hilang dibumi pertiwi yang sebagian besar beragama Islam?
Memang tidak ada rasa malu para koruptor di Indonesia. Padahal diluar negeri, seperti contoh, Presiden Jerman Christian Wulff memberikan pelajaran kepada para pejabat negara yang korupsi. Wulff memilih mundur dari jabatan presiden karena malu diberitakan skandal korupsinya. Wulff diduga menerima fasilitas saat meminjam dana dari bank untuk mencicil rumahnya sebelum menjadi presiden. Adakah pejabat di negeri ini seperti Wulff berani mengundurkan diri? Pada hal rakyat Jerman tidak ada yang memintanya untuk mundur.

Bila di Indonesia sudah didesak untuk mundur masih saja berkilah dengan alasan belum cukup bukti yang kuat. Berkilah, tidak ada Undang-Undang yang mengatur dirinya harus mengundurkan diri dari jabatannya. Bermacam spekulasi dilontarkan sebagai satu tanda memang rasa malu itu telah hilang.

Hebatnya lagi, ketika para pejabat di luar negeri mengundurkan diri karena diduga melakukan tindak korupsi bukan karena ada Undang-Undang yang mengaturnya akan tetapi karena masih memiliki moral, etika dan rasa malu. Mereka sadar apa yang dilakukan merupakan sesuatu yang memalukan maka tidak ada pilihan lain harus segera mengundurkan diri. Namun, rasa malu itu sudah langka buat para pejabat di negeri ini.
Hingga saat ini hal yang masih menjadi kendala korupsi di Indonesia adalah hukuman bagi para koruptor yang masih terlalu ringan, sehingga belum membuat efek jera bagi para koruptor. Jika dikaitkan dengan agama tentu saja korupsi pasti suatu hal yang dilarang, karena korupsi dalam agama yang berarti mengambil hak milik orang lain (mencuri). “Janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara yang bathil”. Al-quran mengajarkan kita untuk mencari rezeki yang halal.

Koruptor masih bisa diberantas jika para orang tua, pendidik dan pemimpin bangsa masih sadar akan tanggung jawabnya. Orang tua tidak hanya memberikan keperluan fisik sang anak tapi juga psikisnya. Pantaulah sang anak Imannya, ibadahnya, ilmunya dan akhlaknya. Anak tidak hanya diberi uang SPP setiap bulan tapi juga tanyakan apa yang telah dipelajarinya, apa yang telah dilakukannya di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Tanyakan pula apakah dia sudah shalat, untuk apa dia shalat? Sentuhan-setuhan pertanyaan  inilah yang akan menjadi perekat dalam hidup sang buah hati dalam melangkahkan kakinya dengan pasti  menuju masa depan yang tidak pasti.  Ajarilah sang buah hati sejak dini karakter-karakter dengan contoh dan teladan sang Bunda.

Andi Noya saat mewawancarai Ketua KPK Abraham Samad dalam acara KICK ANDY tentang pendidikan, bertanya “apa yang telah diberikan oleh Sang Bunda pak Abraham?” Dia katakan sejak kecil bunda saya selalu menanamkan kalimat ini  “Jangan pernah mengambil barang orang meskipun barang itu tidak berharga”. Nasehat sang Bunda pak Abraham ini cukup penuh makna. Mengambil sesuatu yang bukan milik kita sekalipun itu  sangat berbahaya baik dari segi hukum, sosial  maupun agama.

Begitulah para koruptor, sebelum terpilih menjadi pejabat,  kalimat yang sering diucapkan “Kami berjuang untuk rakyat demi rakyat”, namun  setelah  menjadi pejabat terjadilah penghianatan  pada rakyat. Inilah tipikal para pemimpin bangsa kita saat ini. Tipe pemimpin seperti apa yang pantas untuk negeri tercinta ini ? Tentunya pemimpin yang tanpa pamrih, pemimpin yang tak menjadikan jabatannya untuk kepentingan pribadinya,  pemimpin yang peduli, punya rasa malu,rendah hati  dan menghargai hidup ini.  Mengutip perkataan  Buya Safi’i Maarif “Andaikan ada kata pesimis dalam al-quran maka sayalah orang pertama yang pesimis melihat Indonesia, tapi karena tidak ada maka saya harus tetap optimis melihat Indonesia lebih baik”  Kalimat Buya tentunya kita masih terus punya harapan terhadap bangsa kita ini. Jadikanlah  Al-quran sebagai “MAKANAN” hati agar  menjadi kuat untuk menjalani aktivitas memimpin bangsa ini. (*)



Khittah menerima tulisan berupa Opini (maks 700 kata), cerpen (maks 1000 kata), dan puisi. Tulisan dapat dikirim di email: pustakamuhammadiyah@gmail.com

Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top